Anak-anak Hebat Dalam Perjalanan 2 (Agum di Pasar Apung)

Entah disengaja atau tidak beberapa perjalanan terakhir yang saaya lakukan, saya dipertemukan oleh anak-anak yang hebat. Kalau yang pertama seorang penjaja bakso goreng di Curug Seribu Bogor, kali ini saya dipertemukan sama seorang anak laki-laki bertubuh gempal yang punya nama Agum.

Saya bertemu Agum ketika mengajak keponakan-keponakan saya menjelajah daerah Sentul. Setelah sejak pagi kami bermain di Hutan Gunung Pancar lalu ke Curug Bidadari dan kemudian memutuskan istirahat sejenak di Mesjid Andalusia yang terletak di depan Pasar Apung. Oh iya kayaknya seru juga yah kalau cerita perjalanan bareng mereka. Okey mungkin suatu saat saya akan tulis.

Setelah mendapatkan parkir di depan Pasar Apung yang memang lumayan susah, kamipun bergegas menuju masjid. Parkiran masjid waktu itu sudah penuh. Jadi kami memilih parkir di halaman atau tempat parkir Pasar Apung. Baru saja kami turun dari mobil, beberapa anak-anak seusia 8-10 tahun menyerbu. Menawarkan dagangannya antara lain keripik pisang, keripik singkong, dan peyek kacang. Agak setengah memaksa mereka mengharapkan agar pengunjung membeli panganan yang mereka jajakan.

Saya yang saat itu memang bertujuan untuk sholat, ya saya cuekin ajah. Bahkan dalam hati sempat merasa terganggu dengan cara mereka yang menurut saya terlalu agresif. Hahahaha. Iya agresif. Gimana gak agresif coba, baru turun langsung diserbu. Terus ditempel. Jalan kesini diikutin, jalan kesitu ditempelin. Agak ganggu kan yah.

Waktu itu sih saya cuma bilang, “maaf ya dek, nanti ya, saya buru-buru mau sholat dulu. Keburu kesorean nih, maaf yah.” Sambil menyunggingkan sedikit senyum yang mungkin agak dipaksakan.

Usai sholat, kami awalnya mau makan di Pasar Apung, tetapi tiba-tiba hujan turun sangat derasnya. Kami pun bingung. Payung semua di mobil. Akhirnya kami memutuskan duduk di beranda masjid. Menunggu hujan reda.

Sambil duduk dan menatap ke depan, tiba-tiba saya melihat sekelompok anak-anak penjaja keripik yang kali ini jumlahnya cukup banyak. Mereka sepertinya sedang berteduh juga. Mereka lalu juga menawarkan kepada pengunjung yang barus saja keluar dari mesjid. Kali ini saya rasa saya mau membeli untuk dimakan sambil menunggu hujan reda.

Saya meminta keponakan saya untuk membeli dua bungkus. Harganya 10 ribu perbungkus dan saya membeli keripik opak. Rasanya enak. Tidak lama buat kami sekeluarga menghabiskan keripik opak tersebut. Tetapi hujan masih saja belum reda.

Akhirnya saya tertarik mengamati tingkah laku anak-anak tersebut. Memang sih mereka berbicara dengan bahasa Sunda yang tidak saya mengerti. Tetapi saya tertarik dengan cerita dibalik mereka. Hahahha. Kepo banget kan.

Saya pun mendekat, menghampiri salah seorang anak yang sedang duduk dengan keranjang dagangan di pangkuannya. Anaknya agak gemuk, hitam manis, dan bermata agak sipit. “Namanya siapa dek ?” saya mengawali percakapan.

“Agum.” jawabnya.

“Agum masih sekolah? Kelas berapa?” tanya saya lagi.

“Masih. kelas 6 SD.” jawab Agum.

Agum kelas enam sekolah dasar, dia memilih berjualan keripik untuk mengisi waktu liburnya. Agum hanya berjualan setiap hari Sabtu dan Minggu atau ketika sekolah libur. Dari hasil berjualan, Agum sudah memiliki dua ekor kambing. Kambing yang dibelinya kemarin sudah dikawinkan dan sudah mempunyai anak.

Ibu Agum yang berprofesi sebagai Ibu rumah tangga yang mengurus kambing-kambing Agum. Rencananya kambing-kambing itu sebagai tabungan untuk biaya sekolahnya nanti.

Agum tinggal tidak jauh dari situ, tepatnya dekat dengan Mesjid Adzikra. Biasanya dia menumpang ojek dengan ongkos 5000 rupiah sekali jalan. Agum sehari bisa menghasilkan penghasilan bersih sebesar 60.000 – 100.000 rupiah. Keripik diambil dari produsen dengan Agum mengambil keuntungan 100%. Wah lumayan juga yah. Makanya tidak heran banyak anak-anak seusia Agum yang turut berjualan.

Kalau musim hujan ada beberapa teman Agum yang langsung beralih profesi menjadi penyewa payung alias ojek payung. Keripik ditaruh dulu, lalu mereka manawrkan jasa ojek payungnya.

Tetapi ada juga dari mereka yang memang sudah berhenti sekolah dan berjualan di sekitar Pasar Apung dan Mesjid Andalusia setiap harinya. Mereka memilih membantu ekonomi keluarga dibandingkan bersekolah.

Ketika saya meminta Agum untuk di foto, Agum langsung memasang senyumnya yang manis. Meski waktu itu beberapa teman-temannya menggoda. Lalu sebagai ucapan terima kasih, atas kesediaan Agum melayani obrolan saya. Saya kembali membeli keripik opak yang dijajakan Agum.

Agum dengan Keranjangnya yang sudah kosong
Agum dengan Keranjangnya yang Sudah Kosong

Tiba-tiba keponakan saya Fawaz namanya, mendekat. Usianya masih 9 tahun. Sepertinya dia dari tadi memperhatikan perbincangan saya dengan Agum. Lalu saya berbisik di telinga Fawaz. “Tuh, kamu beruntung kan. Bisa sekolah, minta ini itu tanpa harus mencari duit dengan berjualan seperti itu. Sekolah yang pintar, jangan kebanyakan meminta barang-barang yang lagi ngetren gara-gara ikut-ikutan teman.” kata saya kepada Fawaz.

“Mereka gak tauk baju distro ya tante?” tiba-tiba keponakan saya yang satu lagi namanya Odi menimpali. Memang si Fawaz seperti sudah anak ABG yang keranjingan barang bermerek dari distro. Kadang saya sampai geleng-geleng kepala kalau Fawaz sudah mulai merengek minta sesuatu dan harus belinya di toko distro. Heran yah anak jaman sekarang umur segitu sudah tauk barang distro. Entah fenomena apa ini.

Fawaz hanya diam. Semoga saja Fawaz bisa mencerna omongan saya tadi. Semoga.

Sebuah perjalanan adalah tempat pembelajaran terbaik buat anak-anak menurut saya. Mereka bisa langsung melihat kondisi sesungguhnya. Saya jadi berpikir untuk mengurangi pemberian barang-barang yang sepertinya tidak terlalu mereka butuhkan. Lebih baik saya menabung uangnya dan mengajak mereka untuk jalan-jalan. Melihat dunia dan isinya. Bermain dan belajar dalam waktu bersamaan.

 

 

 

 

Anak-anak Hebat Dalam Perjalanan 1 (Penjaja Bakso Goreng di Curug Seribu)

Beberapa perjalanan terakhir belum lama ini, saya dipertemukan dengan beberapa anak-anak hebat. Saya menyebut mereka hebat, karena di usia mereka yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, mereka sudah bisa menghasilkan uang untuk membantu ekonomi keluarga.

Mereka mengharapkan rupiah dengan cara berjualan di lokasi tidak jauh dari tempat wisata. Anak yang pertama saya temui, sebut saja namanya Anton. Jujur saja saya lupa dengan namanya. Waktu itu sempat kenalan, bahkan kalau saya tidak salah ingat, saya sempat mencatatnya. Tapi entah ketika saya ingin menuliskan cerita ini, saya tidak menemukan catatan itu dimanapun. Maafkan ya. Mungkin usia yang membuat ingatan saya begini parah pelupanya.

Saya melihat Anton karena suami saya yang memang suka jajan. Suami tiba-tiba menuju sebuah bangunan gubug yang dijaga oleh Anton dan kedua orang temannya. Saya menghampiri. Awalnya sih saya kurang setuju dengan suami saya yang membeli makanan yang dijajakan Anton. Iya, Anton berjualan bakso goreng yang cara menyajikannya dengan plastik ukuran 1 kg lalu diberi saus yang tentu saja tanpa merek.

Tapi kemudian saya tertarik, kok yang jualan anak kecil, dan tidak ada satupun orang dewasa yang menemani mereka. Suami saya sudah mendapatkan bakso gorengnya. Tapi saya belum beranjak dan masih ingin mengobrol dengan Anton dan kedua temannya.

Anton sepertinya anak yang pemalu. Ketika saya dekati untuk ngobrol dia hanya menjawab seperlunya dan kadang tidak melihat ke arah saya. Hanya, kedua teman Anton terlihat tersenyum-senyum melihat Anton yang kebingungan seperti diwawancarai oleh saya.

Anton sekarang duduk di kelas 1 SMP, dia berjualan bakso goreng di dekat pintu masuk Curug Seribu Bogor setiap hari libur saja. Anton sudah berjualan bakso goreng sejak kelas 5 SD. Ketika saya bertanya bagaimana mengangkut perlengkapan berjualannya, ia bilang semuanya ditinggal saja di gubugnya tempat berjualan. Ia hanya membawa bakso, minyak goreng, dan saos saja.

Ketika kami sedang mengobrol, saya mengingatkan bakso goreng yang sedang digorengnya, “hati-hati itu gosong nanti.” Anton hanya melirik penggorengannya dan tetap cool. Ealah ini anak kalem ajah.

Saya pun menanyakan, uang hasil berjualan untuk apa. Menurut Anton, uangnya ia bagi dua, sebagian ia berikan ke orang tua dan sebagian lagi untuk jajan di sekolah. Anton bercita-cita menjadi Polisi kalau sudah dewasa nanti.

“Cepet ayo, nanti keburu siang, lanjut.” tiba-tiba saja suami memanggil. Ups, waktunya pamitan sama Anton. sebelum pamitan, saya minta izin untuk mengambil gambar mereka bertiga. Mereka mau, tetapi malu-malu untuk bergaya. Sebelum pergi saya ingat punya sedikit coklat yang kemudian saya berikan buat mereka bertiga. “Ini dibagi-bagi ya, sedikit tapi.” kata saya ” Makasih…” jawab mereka kompak.

Penjaja Bakso Goreng di Curug Seribu
Anton dan temannya yang malu-malu ketika difoto