Berhasil menembus kemacetan Surabaya menjelang senja hari itu, akhirnya kami tiba di Hotel Harris Gubeng. Rencananya kami akan menginap di sini dua malam. Besok Zaki akan ke Gresik untuk urusan kerjaan dan belum tahu juga apakah kerjaan besok bisa beres atau kami memperpanjang waktu singgah kami di Surabaya.
Kenapa pilih Harris, dengan budget di bawah 1 juta, hotel ini menurut saya paling tidak , (sejauh ini) belum pernah mengecewakan. Sudah pernah di beberapa kota seperti Bali dan Malang, selalu berkesan. Makanya saya agak maksa untuk menginap di Harris selama di Surabaya. Letak Haris di tengah kota di Jalan Gubeng. Bersebelahan dengan adiknya, yaitu Hotel Pop. Maaf yah, kali ini karena dibayarin kantor, agak mendingan dikit dong. Gak di Pop lagi. Hehehe.
Tiba di kamar hotel yang untungnya pemandangannya tidak lagi menyeramkan, kami sebenarnya antara lapar dan tidak lapar. Mau cari kulineran di Surabaya, Zaki sudah malas keluar. Mau gojek, takut ribet. Akhirnya kami pilih pesan di hotel atas rekomendasi petugas hotel, kami pilih nasi goreng kampung komplit.
Berhubung tidak terlalu lapar dan katanya komplit dengan sate ayamnya, kami pesan satu porsi untuk dimakan berdua. Biar romantis gitu. Eh padahal mah ngirit. Hehehe. Mahal bok. Kurang lebih 15 menit nasi goreng datang. “Eh kok katanya pedas, ini mah gak pedas ah.” kata Zaki. “Iyah, ini mah standar,” balas saya yang memang selera pedasnya jauh di bawah Zaki. Loh ini kan Surabaya yang terkenal apa-apa pedas. Kok malah gak pedas ya. Ya sudah, meski demikian piring nasi goreng tersebut langsung bersih tak ada sisa. Kami lafaaarrr ternyata yah.
Keesokan paginya, sebelum Zaki berangkat ke Gresik menempatkan diri sarapan. Ini bagian yang paling dinanti kalau menginap di Harris. Sarapannya buanyak macamnya. Puas. Meski demikian, pagi itu saya gak banyak makan. Udah kenyang saja. Efek membiasakan makan sesuai kebutuhan kali ya. Kalau Zaki, eits jangan ditanya. Pagi itu bubur ayam, mie ayam, lontong sayur. Hahahahaha. Katanya capek nyetir kemarin. Bisaaaaa… ajahhhh…

Zaki berangkat ke Gresik nyewa mobil rental Blue Bird yang memang ada di hotel. Katanya lagi dia capek. “Kalau disetirin kan bisa tidur, enak. Kayak kamu.” begitu katanya.
Zaki berangkat, saya buka laptop dan berencana mau nge-blog gitu. Kan enak kamar hotelnya. Alih-alih nge-blog, pagi hingga siang saya malah sibuk memindahkan foto-foto dari hp ke external HD. Kalau bosan ya sesekali saya membaca novel Crazy Rich Asians yang sedang saya baca.
Menjelang tengah hari, usai Zuhur saya berencana keluar hotel untuk mencari makan siang sekalian mencari buah tangan untuk berkunjung ke sepupunya Zaki yang tinggal di Surabaya nanti malam. sekalian silaturahmi kan yah.
Berhubung ini hotel di tengah kota, saya putuskan untuk ke mall saja. Padahal yah, hotel menyediakan shuttle bus untuk menuju mall tersebut, dasarnya saya gak disiplin ya telat aja dong. Ya udah saya memilih jalan kaki saja.
Tauk gak apa yang pikirkan ketika saya memilih jalan kaki siang itu. Loh kalau lagi di Singapura atau Bangkok saja kok saya bisa jalan berkilo-kilo meter, kenapa ini di Surabaya yang kotanya gak kalah bagus kok saya malas. Meski ditawari taksi, sama petugas hotel, saya kekeuh mau jalan. Buka google maps dan jalan kaki. Alhamdulillah meski awalnya sulit menggunakan google maps ya tapi lumayanlah lama-lama saya terbiasa juga. Kalau bingung kan nanya bisa. Toh bahasa yang digunakan masih sama. Bahasa Indonesia. Ye kannn…
Menenangkan berjalan kaki di Surabaya. Tamannya bagus, sangat terawat. Tanaman tumbuh subur, dengan bunga-bunga. Meski Surabaya agak panas, berada di dekat taman udara siang itu sedikit sejuk karena tiupan angin dan mata jadi hijau banget.


Entah karena saya yang dudul atau gimana, akhirnya saya tiba di mall yang bukan tujuan saya. Iyah, awalnya tuh saya mau ke Surabaya City Walk, eh malah belok ke Surabaya Plaza. Gara-gara mungkin saya salah baca maps. Sudah gak papah, kan sama-sama mall. Menghibur diri dan berusaha menerima kebodohan.
Gerai makanan di mall ya tentu saja sama persis dengan yang ada di Jakarta. Makanya saya memilih mencari foodcourt biar agak beda. Pilihan jatuh kepada nasi goreng Jancuk, yang katanya fenominil. Meski begitu saya pilih yang gak pedes. Nasinya banyak banget dan rasanya gak sefoneminil itu ternyata. Biasa ajah, ada potongan ikan asin kecil-kecil yang asinnya mantab. Harganya cukup mahal buat ukuran nasi goreng menurut saya. Entah kenapa saya selalu membandingkan setiap nasi goreng yang saya makan, dengan nasi goreng warung tenda dekat rumah. Sudah langganan, karena rasanya enak, dan murah. Enak versi saya, bumbu terasa, manis kecapnya cukup, nasi tidak terlalu ambyar dan sayurnya banyak. Sebenernya saya gak habis, tapi sayang. Pelan-pelan saya makan sambil membawa novel saya. Akhirnya sisa dikit. Yah maaf ya.

Selesai makan, saya putar-putar ke pusat perbelanjaan di situ. Dapat jaket lucu dan cardigan untuk dua orang keponakan. Dari situ ternyata Zaki menelepon dan bilang sudah di hotel. “Buruan pulang!” seperti biasa gaya otoriternya sebagai suami datang. Saya kembali ke hotel dengan ojek online dan hanya 5000 pemirsa. Ya ampun padahal lumayan lo muternya.
Malamnya kami berkunjung ke rumah sepupu Zaki yang di Surabaya. Dari situ kami meutuskan makan malam. Saran dari sepupu Zaki, namanya Dek Beni enaknya makan sambal belut. Kami meluncur ke sana. Eh belom rezeki, warung belut tutup. Kami menuju tujuan berikutnya, Bebek Kayu Tangan.
Rumah Makan Bebek Kayu Tangan sederhana. Bangunan lama tidak ada polesan kekinian sama sekali. Sangat otentik khas Surabaya. Buat yang gak suka bebek, ada juga ayam kampung. Saya pesan ayam kampung bakar bumbu rujak dan Zaki, bebek bakar bumbu rujak. Katanya itu yang khas.
Perlu diingatkan, kalau lagi lapar berat, pikir-pikir makan di sini. Agak lama gitu soalnya. Meski saat itu sedang tidak terlalu ramai pengunjung. Ketika hidangan tersaji langsung saja kami serbu. Kesetiaan kami menunggu berbuah. Ya ampun itu enak banget. Bumbu rujaknya manis, pedas, asam, bercampur jadi satu. Bubunya meresap hingga ke dagingnya. Meski untuk saya pedas, tapi itu enak sekali. Semuanya pas. Pedas manis dan asam, selera saya banget.
Di belakang meja kasir duduk seorang nenek yang usianya mungkin sudah 70 tahun. Selesai membayar makanan yang kami makan, saya sedikit mengobrol dengan beliau dan asistennya. Bukannya apa, sang asisten kadang memebri kode ke saya kalau si nenek sudah agak kurang pendengaran. Pantas kadang saya tanya apa, beliau jawab apa. Ya maklum lah ya.
Jadi hasil pembicaraan saya dengan mereka ketika saya usul agar membuka cabang di Jakarta, sebenarnya sudah pernah mereka coba. Di daerah Matraman. Respon pelanggan cukup bagus, namun entah kenapa harga sewa makin mencekik. Mereka tidak sanggup lagi dan akhirnya sekarang hanya menjalankan satu saja di Surabaya. Sudah berjualan sejak tahun 1970-an sejak anak-anak si nenek masih kecil. Alhamdulillah masih laris sampai sekarang.

Malam itu hari saya di Surabaya ditutup dengan kenangan pedas, asam, dan manis tentang sebuah rasa. Ya rasa, bumbu rujak yang bikin kangen. Pokoknya kalau ke Surabaya. Harus coba lagi. Begitu kata saya dalam hati, dilanjutkan dengan untung malam itu warung belut tutup. Hahahaha…