Fase Finansial Dalam Hidup

Belakangan ini lagi ramai banget nih yang membahas pengaturan uang. Lebih-lebih dalam situasi pandemi ini. Mulai dari mereka yang punya latar belakang konsultan keuangan sampai influencer yang sudah mulai sadar pentingnya pengaturan keuangan dari berbagai latar belakang profesi.

Nah, sekarang saya lagi mau cerita nih fase finansial dalam hidup saya. Pernah hidup dalam kondisi pas-pasan sekali waktu kecil, tidak pernah liburan kalau tidak acara undangan tour dari kantor Ibu atau lingkungan RT (mengsedih sekali hahahaha). Tapi sudahlah itu yang membuat saya merasa bersyukur sekali berada di tahap sekarang. Alhamdulillah berlebih sekali tidak, tapi bisa mencukupi apa yang saya butuhkan dan sedikit bisa membantu orang-orang tersayang (semoga merasa terbantu yah).

Menabung Sedari Kecil

Saya sendiri sudah mulai sadar uang harus diatur mungkin semenjak dari kecil. Maklum, latar belakang dari keluarga yang dikasih uang sakunya pas-pasan ya mau gak mau saya harus pintar atur keuangan. Tujuannya itu waktu itu supaya saya bisa beli barang yang saya mau tanpa minta ke orang tua (karena sadar kalau minta gak akan dipenuhi 😊)

Jadi seingat saya, saya mulai menabung itu benar-benar dari kecil. Ketika sadar senangnya dikasih uang Ketika lebaran tiba. Ibu saya membukakan rekening di bank dari yang Namanya Tabanas. Setiap dapat uang lebaran, sehabis buka celengan uang receh, atau dikasih uang sama pakde, bulek, atau mbah, minta tolong Ibu memasukkan ke Tabanas.

Pindah ke Bekasi, buka rekening baru di bank terdekat rumah. Apalagi kalau bukan BRI. Makin senang karena mulai berani ke bank sendiri buat nabung. Hikmah menabung itu baru kurasakan saat SMU. Pas SMU itu saya ikut les Bahasa inggris yang dianggap wajib sama anak Se-SMU kala itu. Iyah di LIA. Pasti anak 90 an tahu deh. Sebulannya itu bayar 300-400 ribu di tahun 2000 awal. Nah itu sudah cukup memberatkan buat orang tua saya, jadi ketika saya duduk di kelas tiga SMU dan teman-teman sudah sibuk memilih bimbingan belajar bisar bisa masuk universitas impian, saya mah bingung buat gimana bilang ke Ibu biar diizinkan ikut bimbel dan tentunya masalah pendanaan.

Akhirnya saya mengalah, Ketika Ibu bilang kayaknya berat kalau harus bayarin bimbel saya, akhirnya saya mengambil uang tabungan saya itu buat ikutan bimbel. Lulus SPMB gak? Lulus dong., tapi gak diambil. Ya udah gak papah… all is worth… anyway

Masa Kerja dan Single

Selesai kuliah alhamdulillah langsung kerja. Lokasi jauh dari rumah. Untuk transport hampir setengah gaji. Nyoba nge-kost biaya lebih besar, karena seringnya kangen rumah. Kangen masakan Ibu. Cuma nge-kos 3 bulan. Gaji pertama di industry farmasi 1 juta dan transport 200 ribuan.

Tapi happy, udah bisa ngajak Ibu ke Naga Swalayan buat bayarin belanja bulanan, ngasih uang Bapak 50-100 ribu buat jajan, dan beliin pulsa adik. Tidak lupa sebisa mungkin menabung, meski susah dan maksimal 200 ribu.

Niat nabung sekali soalnya punya cita-cita buat lanjut kuliah S1. Akhirnya diputus kontrak setelah satu tahun kerja. Iyah kurang kompeten kalik saya, sampai kontrak tidak berlanjut jadi karyawan tetap. Hehehhe. Yaudah gak papah. Udah lewat kok.

Akhirnya nekat daftar kuliah di kampus yang banyak keringanan di biaya. Bayar uang pokok setengah di awal semester, lunasin bpp dan ½ sks pas mau UTS, dan lunasin sisa sks pas mau uas. Tentunya kuliah sambil kerja dong. Kerja di apotek dengan pertimbangan bisa tetap kerja dan jadwal yang fleksibel buat kuliah. Gaji gimana? Gak lebih besar, harus menabung setiap bulan 500 ribu. Walhasil selalu naik angkot, mewah naik ojek, dan bawa bekal dari rumah. Bawa minum, bawa cemilan, biar gak gatel jajan di luar.

Belum setahun kerja, eh Apoteknya bangkrut dong. Hahahahha… terancam di PHK tanpa pesangon pula. Wuaaa… nasib sangat tidak berpihak padaku kala itu kalau dipikir. Agak tenang, abis ini kalau di PHK gak pengangguran, karena masih kuliah, tapi gimana buat bayar kuliah. Ya kemudian merasa sebal dengan hidup yang kejam banget.

Mulai frustasi melihat keruwetan hidup, hahahha. Jalan ninjaku berikutnya adalah mengikuti Tes CPNS. Alhamdulilah kali ini keterima. Terus terang menjadi PNS itu lumayan berkah buat saya waktu itu. Setidaknya biaya kuliah aman. Meski konsekuensi susah nyuri waktu buat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Dah yang penting selesai kan.

Nah, pas jadi PNS itu saya yang memang terbiasa nabung, makin giat menabung. Ntah, makin bahagia aja melihat jumlah rekening yang bertambah. Waktu itu tujuannya ya cuma tabungan yang banyak. Belum tahu buat apa. Mungkin untuk biaya menikah. Karena ya duit dari mana kan kalau mau nikah. Saya bukan anak sultan. Ya bener sih, akhiranya tabungan buat nikah. Beli souvenir, undangan, seragam keluarga, dan printilan-printilan lainnya. Pak calon suami bagian sewa pelaminan, baju, mas kawin, dan seserahan. Orang tua bagian konsumsi hasil jual tanah warisan dari Mbah yang daripada akan menjadi urusan yang bermasalah, mending dijual saja. Oh iya, uang hasil amplop para undangan dikasih ke Ibu. Kami dikasih uang buat beli kulkas pertama kami. 😊

Bertambah penghasilan ketika masih single, gak merubah gaya hidup alhamdulillah. Masih beli tas lima puluh ribuan, masih beli tas dan sepatu di ITC, dan masih suka bawa bekal dari rumah. Meski ya tetep diajakain jalan ke Plaza Indonesia, Plaza Semanggi, dan seringnya sih windows shopping ke ITC Kuningan atau Mall Ambassador.

Fase Keuangan Setelah Menikah

Setelah menikah, bagaimana mengatur keuangan? Kalau sebagai PNS, terus terang pendapatan saya mah standar ajah, paling ada lebihan dari tunjangan kinerja, meski sekarang jauh berkurang pendapatan dari perjalanan dinas.

Baru menikah, Zaki yang masih belum lama kerja juga gajinya pas sekali. Pas buat bayar kontrakan waktu itu 500 ribu, ngasih duit ke saya sejuta kayaknya gak sampe. Wkwkwkwk.

Setelah menikah, akhirnya punya tujuan keuangan berikutnya, yaitu beli rumah. Saya yang memang doyan nabung, berkeras buat mengumpulkan uang buat DP. Akhirnya memberanikan DP rumah dari uang tabungan 20 juta, dan ngutang dari koperasi dengan jaminan sertifikat tanahnya Ibu dapat 20 juta. Akhirnya bisa beli rumah meski secara KPR. Cicilan 2,6 juta selama 15 tahun. Urusan cicilan dipikirin suami, bayar utang DP urusan saya. OK. Beratttt… tapi dijalanin aja.

Kembali nabung pelan-pelan buat mengisi rekening yang kosong. Inget banget dikasih tauk bukunya Ligwina Hananto yang judulnya Indonesia kuat. Jadi belajar pentingnya dana darurat dari situ. Nabung lagi. Kali ini tujuan keuangan kami ikutan program hamil. Wow ini juga wow banget. Ntah berapa rupiah yang sudah mengalir ke RS, urusan promil ini. Kapan-kapan cerita deh keuangan buat promil ini.

Di tahun ke 4 suami alhamdulillah dapat fasilitas mobil dari kantor, gaya hidup kami ya gak banyak berubah. Paling nambah pos buat traveling aja, karena memang hobi. Di tahun ke 7 suami memutuskan resign dan harus beli mobil sendiri, karena fasilitas dari kantor sebelumnya ya hilang. Pas ambil mobil, pas ikutan IVF dan alhamdulillah ada lagi rejekinya dari dana JHT suami alhamdulillah hadirlah Azzam di tengah-tengah kami.

Nah alhamdulillah di tahun ke 12 pernikahan kami, masih ada cicilan rumah yang insyaallah 5 tahun lagi. Mobil alhamdulillah sudah lunas, dan gak pernah nyangka bisa punya mobil sendiri. Sengaja nyicil mobil cuma 2 tahun biar gak lama ikat pinggangnya. Sekarang mobilnya udah 5 tahun dong. Suami udah berkali-kali ajukan rencana ganti mobil. Tapi belum di approved sama saya. Hahahahaha.

Pengaturan keuangan keluarga kami memang ada dua pos berhubung kami punya dua pos penghasilan, dan itu memang pilihan kami (saya dan suami). Kami saling terbuka kok dan saat ini, model pengaturan keuangan seperti ini yang paling pas menurut kami. KIra-kira begini kami mem-poskan anggaran keluarga:

  1. Suami memberikan 1/3 gajinya buat saya. Ini yang saya gunakan untuk keperluan makan sehari-hari, belanja bulanan, kebutuhan anak kami, bayar asisten 2 orang (satu di rumah saya, satu di rumah Ibu), hiburan kayak makan di luar, nonton bioskop, dll. Dari uang ini alhamdulillah saya bisa menabung sebulan cukup buat biaya Pendidikan anak kami nanti. Dari uang yang dikasih suami ini, 55% untuk biaya hidup, dan sisanya buat nabung atau liburan, dan biaya tak terduga.
  2. Gaji suami sisanya buat bayar cicilan rumah, pulsa suami, kasih ibu, adik-adik suami, wifi, listrik, bensin, jajan, bayar sekolah Azzam nanti, menabung, dan investasi.
  3. Gaji saya buat bayar pulsa saya, ongkos kerja, kasih Ibu, kasih keponakan kadang-kadang, dan beli kebutuhan saya lainnya. Kebutuhan saya apaseh? Skincare, jajan di kantor, makan di kantin, ke mall, jajan buku, jajan baju, jilbab. Hehehhehe. Kadang juga buat kebutuhan anak juga tentunya. Saya juga masih (mewajibkan diri) bisa menabung dari sini.
  4. Dana darurat dipegang siapa? Tentu di tabungan suami. Tabungan saya buat tambah-tambah biaya sekolah, buat dana senang-senang, liburan, ataupun naik haji insyaallah. Sekolah anak sih utamanya tetap suami dong wkkwkwk.
  5. Bagaimana dengan investasi? Kalau saya pribadi investasi paling nyaman di reksadana pasar uang buat bayar asuransi jiwa tahunan, liburan, juga pendidikan. Sedikit logam mulia buat naik haji atau pendidikan, dan juga sedikit tabungan saham untuk pensiun. FYI saya kurang suka dengan perhiasan, jadi jarang beli perhiasan. Kalau properti? Gak suka juga, karena perlu perhatian lebih, dijualnya susah, selain itu duitnya juga belum sampai kalau mau belinya tunai. Hehehe.
  6. Kalau liburan pakai dana apa? Biasanya kita kolaborasi. Misal suami bayar transport, nanti tabungan saya buat hotel. Makan? Pake uang makan bulanan atau lebih sedikit. Begitu aja sih, dan gak ada masalah sih. Ya berbagi aja. Namanya sudah menikah kan.

Proses keuangan setiap keluarga dan idividu berbeda-beda gak ada cara yang paling tepat dan salah, semuanya disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing. Namun yang saya percaya, Allah memberikan rezeki sesuai dengan usaha hambanya. Percaya rezeki Allah luas sekali. Semangat buat teman-teman yang masih berjuang dan meraih kebebasan finansial. Bisa yuk, sama-sama.

Nilai-nilai yang diterapkan keluarga memang membentuk kami menjadi individu yang berbeda dalam mengelola keuangan setelah menikah. Nah bagaimana kami mau berkompromi dan saling menghargai satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, itu kuncinya. Tujuan finansial kami saat ini ya sekolah Azzam, naik haji dan kalau saya pribadi pengen banget pensiun sedini mungkin, dan di masa tua pengen lanjut jalan-jalan dengan gaya hidup yang stabil hahahahaha… aamiiin semoga sehat terus kita semua.

Featured

Belajar Jadi Minimalis Edisi Kondangan

Beberapa waktu yang lalu, kami sekeluarga menghadiri pernikahan sepupu di Klaten. Sudah diinfo sejak beberapa bulan kalau dresscodenya putih. Bapak-bapak pakai jas saja.

Duh baju putih yang kupunya yang layak tidak ada bukaan depan. Bayangan saat itu, acara kondangan yang lama, kalau Azzam cranky gerah lalu pasti akan minta nen gitu. Ada yang bukaan depan, eh sudah kekecilan.

Pokoknya gak mau gamis, alasan:

  • karena takut ribet menjuntai-juntai dan kotor
  • kalau beli online takut bahannya gak nyaman, kepanjangan butuh usaha ke tukang jahit buat potong bajunya
  • kalau mau gendong Azzam susah

Tiba-tiba saja datang ide, awalnya pengen beli aja dress biasa biar bisa dipake buat ke kantor. Memang butuh sih. Mikirnya bawahannya itu kain batik saja. Punya kain batik yang sudah kujahit menjadi rok yang siap dan bisa dipakai segala kondisi.

Mulai deh searching di market place. Tiba-tiba kepikiran buat beli kebaya aja, persis seperti kebaya yang kubeli buat wisuda S2 kemarin. Kebaya dengan resleting depan. Sayangnya gak ada  yang warna putih. Huhuhu sedih.

Akhirnya keywordnya berubah jadi kebaya menyusui. Kemudian keluarlah model kebaya encim Betawi yang modelnya memang berkancing. Cari warna putih, eh kok bagus. Bahannya katun. Gak boleh males baca review pembeli lainnya. Katanya bahannya adem, lumayan sesuai harga. Harganya emang terbilang lumayan murah, yaitu 74.500 rupiah saja. Ah coba beli ah, toh kalau gak sreg, ya emang murah jadi gak usah protes banyak-banyak. Itu prinsip yang gak tauk benar atau salah. Hahaha

Akhirnya pesanan datang. Pas pegang bahannya. Ya ampun ini kok kayak bahan seragam kemeja zaman sekolah. Wkwkwk. Ah sudahlah coba dicuci dan disetrika saja. Alhamdulillah untuk ukuran pas dan gak mletet, adem, pokoknya nyaman sekali buat bergerak segala macam rupa. Hehehe.

Setelah dicuci dan disetrika, lumayan juga sih. Jilbab pakai yang ada. Warna putih tulang. Bawahannya pakai rok batik warna hitam dan coklat model A-Line. Sepatu? Ya pakai sepatu yang biasa buat ngantor aja dong. Sepatu kets silver Rockport kesayangan aku. Yang usianya sudah dua tahun.

Tas kondangan? Tentu tidak perlu. Bawa bayi say, tetap harus bawa perlengkapan macam pospak, tisue basah, tisue kering, hand sanit, baju ganti satu, handuk kecil, cemilan, dan ya pokoknya tas saya macam tas doraemon apa aja ada. Tetap pakai tas ransel mini kulit favorit yang dibeli pas ada bazar di kantor.

Make up? Berhubung saya make up komplit pas kondangan doang, (eh tu juga gak komplit-komplit amat) cek laci yang gak ada maskara aja, karena sudah expired. Akhirnya cus ke Indomaret beli maskara sachet merek Moko-Moko. Bener kan, kepake nya cuma pas itu aja.

Baju Ibu buat kondangan checked.

Beralih ke baju Bapak. Jas hitam alhamdulillah masih muat. Bapak akhirnya beli kemeja putih. Iyah menurut saya mah mahal. Tapi ya sudahlah beliau mah bebaskan saja. Alasannya gak punya kemeja baju putih yang bagus. Hehehe. Sepatu awalnya mau beli kembaran sama Azzam, tapi kuajak diskusi baik-baik, Sepatu masih banyak. Okelah mau kembaran sama Azzam. Tapi kondisi sekarang, apa memungkinkan sepatunya dipake seberapa perlu. Yang ada nanti keburu kekecilan. Wkwkwkwk. Akhirnya Bapak gak jadi beli sepatu. Ibu menang.

Gimana dengan Azzam? Oh iya Azzam punya baju kado dari teman Bapak di Thailand. Kemeja putih dengan rompi kotak-kotak model seragam anak TK. wkwkwk. Eh iyah ada juga stok kemeja putih motif lumba-lumba biru dongker dan bawahannya celana jeans panjang dan pendek dibawa saja. Kenyataannya gak mau dong dipakein baju kemeja rapi. Maunya kemeja putih dan celana jeans pendek. Ya sudah ibu ngalah, demi anak yang bahagia. Wkwkwkwk.

Dan inilah kami, yang lebih senang di luar ketimbang di dalam gedung.

Susah benerrr foto sama todler😖 dengan tentengan cemilan tentunya 😂

Terus gimana? PD gak pas di sana? Wah alhamdulillah saya PD banget, meski outfit yang biasa-biasa aja. Saya bebas mengejar-ngejar Azzam yang sempat berguling-guling di lantai, bolak-balik cuci tangan di kran, nangis histeris gara-gara Ibu gendong adik sepupu yang masih bayi, sampai baju putihnya yang penuh es krim coklat di mana-mana. Ibu tetap bisa calm dan ya udahlah namanya anak-anak.

Minimalis ke tiap orang itu beda-beda ya, minimalis buat saya bukan seminimal mungkin gak beli apa-apa. Tapi lebih memanfaatkan yang ada dan sangat sadar (banyak pertimbangan) sebelum memutuskan menambah barang. Apalagi kalau cuma untuk penampilan semata. Balik lagi ke prioritas ya bund… hehehehe…