Senyumin Aja, Meski Ku Suka Manyun Juga :)

Tulisan ini saya tulis, ketika ada sebuah kompetisi apalah waktu itu dan lumayan masuk 10 tulisan terbaik. Meski katanya mau dibukukan, tapi sampai sekarang belum juga tuh. Hehehe. Ya sudahlah biar saja, yang penting saya jadi produktif menulis lagi.

Ini sebuah cerita salah satu perjalanan hidup saya yang lumayan seru. Berawal dari seorang teman yang curhat waktu nilainya kurang bagus saat kuliah S2 ini, dan mengeluhkan keadaannya yang harus sekolah sambil bekerja. Meski katanya sekolah dibiayai orang tua, tapi gak enak kalau resign. Kalau teman-teman cerita begitu, saya jadi ingat kalau saya pernah di kondisi seperti mereka. Kuliah sambil bekerja. Kenapa? Ya harus, kalau gak kerja, dari mana saya bayar kuliah? 🙂

Kalau mengingat kondisi waktu itu, rasanya sulit sekali saya membayangkan saya bisa sampai di titik hidup saya sekarang (belom apa-apa juga sih) tapi saya bersyukur banget banget, kalau melihat perjuangan saya yang bahkan menyelesaikan S1 ajah kok harus huuuuu haaaahhhh sekali. Cuma satu ajah sih, yakin keadaan bisa berubah hanya saya dengan sekolah. Demi keluarga, dan orang tua. Itu tiga cuyyyy… Hihihi… plis jangan ketawa bacanya.

Mau Kuliah Lagi Setelah Selesai D3

“Pak, aku maunya sih, sekolah lagi. Lanjutin S1, seperti teman-temanku si Rahma, Rifqy, dan Santi.” Curhatku ke Bapak siang itu, ketika sudah hampir dipastikan saya akan segera menamatkan kuliah saya di Politeknik Kesehatan Jakarta II Jurusan Farmasi.

Tiga tahun sudah akhirnya saya berhail menamatkan pendidikan di sana. Buat saya itu tidak mudah. Bukannya tidak suka, tetapi sepertinya kemampuan otak kiri saya semakin berkurang seiring dengan usia. Agak terengah-engah buat saya untuk bisa lulus mata kuliah ilmu pasti seperti Matematika, Fisika, ataupun Kimia. Tetapi, kalau sudah masuk mata kuliah berkenaan dengan obat dan fungsi saya bisa lebih mudah menerimanya dengan menggunakan logika berpikir. Menurut saya lebih mudah dibayangkan.

Waktu itu Bapak hanya menjawab, “Memangnya biaya untuk kuliah berapa? Tahun ini Bapak sudah pensiun lo.”  Sambil matanya menatap keluar jendela di ruang tamu.

“Ya sudah Pak, saya mau coba kerja saja. Nanti nabung sendiri buat lanjut S1.” Saya menutup pembicaraan dengan mencari jalan terbaik yang saya bisa. Padahal dalam hati saya sangat iri dengan teman-teman yang bisa melanjutkan kuliah. Mereka mendaftar di sebuah perguruan tinggi negeri program ekstensi di bilangan Depok, Jawa Barat. Tetapi saya buru-buru membuang jauh rasa iri itu. Ini mungkin jalan saya. Ingat, saya waktu itu memutuskan memilih program D3 Farmasi agar bisa selesai tepat waktu saat Bapak pensiun. Selain itu, agar cepat dalam mendapat pekerjaan. Jadi ya terima saja, toh waktu itu cita-cita saya, sesederhana itu. Ingin membantu ekonomi keluarga.

Bertepatan dengan saya menamatkan sarjana muda saya, bapak pensiun. Bersamaan pula dengan adik saya lulus SMU. Saya tidak boleh egois. Adik saya harus kuliah juga. Meski Ibu bekerja, pendapatan Ibu tidak seberapa untuk membiayai kuliah adik saya.  Uang pensiun Bapak tentu tidak cukup untuk membiayai saya melanjutkan sekolah ke jenjang strata satu yang tidak murah.

Tabungan? Jangan ditanya. Kami bukan keluarga berlebih yang mempunyai tabungan pendidikan, dana cadangan atau apalah seperti istilah perencana keuangan yang sedang ngetren saat ini. Bapak seorang Pegawai Negeri Sipil yang hanya tamatan SMU, belum ada yang namanya tunjangan kinerja, di tempat Bapak juga tidak ada dinas keluar kota. Ibu bekerja di Balai Kesehatan Masyarakat sebagai pegawai administrasi yang gajinya dicukup-cukupkan untuk biaya hidup kami, terutama sekolah.

Kami bisa sekolah melanjutkan kuliah, mungkin dengan pinjaman dari koperasi tempat Ibu bekerja. Kami makan seadanya dan hampir tidak pernah jajan makan di luar. Meski Ibu bekerja dan harus berangkat jam 05:30 setiap hari Senin-Sabtu, Ibu selalu menyiapkan sarapan pagi dan bekal kami untuk makan siang. Sepulang kerja jam tiga sore, Ibu langsung memasak, kadang juga menyetrika pakaian. Waktu itu kami sudah bisa membantu membersihkan rumah dan mencuci pakaian.

Diterima Kerja Pertama, Senangnya

Alhamdulillah adik saya diterima di Universitas Negeri Jakarta. Doa Ibu dan Bapak juga membuat saya bisa dengan mudah diterima disebuah industri farmasi di daerah Cikarang, Jawa Barat. Buat kami yang hanya lulusan D3, diterima bekerja di industri farmasi, merupakan suatu kebanggan tersendiri. Apalagi waktu itu saya belum resmi di wisuda. Teman-teman saya masih berjibaku mengirimkan surat lamaran kesana kemari, alhamdulillah saya sudah dapat pekerjaan.

Pendidikan saya yang hanya D3, tidak bisa membuat saya langsung bekerja sebagai karyawan tetap. Saya terikat kontrak dengan status “KKWT” alias “Karyawan Kontrak dengan Kesepakatan Waktu Tertentu. Untuk percobaan, saya dikontrak selama satu tahun. Kelanjutannya akan dinilai oleh atasan langsung. Apakah saya akan diangkat menjadi karyawan tetap ataukah saya diputus kontrak, yang berarti saya akan jadi pengangguran.

Semangat fresh graduate yang ingin membuktikan kemampuan, saya bekerja dengan giat. Lokasi kantor yang di luar kota, membuat saya harus datang pagi-pagi buta dan pulang saat matahari tenggelam. Belum lagi adanya shift yang mengharuskan saya pulang jam dua dini hari jika saya mendapatkan shift kedua. Satu lagi, jika produksi sedang tinggi, kadang kami juga melakukan long shift. Jam 7 pagi sampai jam 7 malam atau dibalik, jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Seperti zombie rasanya waktu itu. Pagi hari tidur, malam hari harus bekerja. Belum lagi tuntutan dari atasan saya yang lumayan tinggi buat pemula seperti saya. Menurut beliau, di sini kami harus bekerja, bukan belajar, karena di sini kantor bukan universitas. Aduh, kalau ingat itu kadang suka senyum-senyum saja sih.

Meski terasa berat, saya tetap menjalani pengalaman kerja pertama saya dengan fun. Pertama, saya senang sekali, bekerja di industri farmasi, karena ilmu yang saya pelajari bisa benar-benar diaplikasikan. Bahkan ilmu saya tambah banyak. Belajar dari para senior dan apoteker-apoteker yang menurut saya mereka semua jenius sangat cinta pada dunia farmasi. Teman-teman di kantor juga hampir seusia. Beberapa kali kami mengadakan jalan-jalan bareng seperti ke Bandung dan Anyer. Pokoknya bahagia deh.

Hingga pada suatu hari, kontrak saya akhirnya diselesaikan, karena atasan langsung saya sepertinya kurang puas dengan kinerja saya. Entahlah mungkin ini saya yang salah. Saya tidak cepat beradptasi. Tapi akhirnya saya terima saja. Berat sekali hidup saya waktu itu. Setahun sudah bekerja lalu menjadi pengangguran lagi dan serasa kembali ke titik nol.

Sepertinya Sudah Lelah 

Mulailah saya mencari-cari pekerjaan lagi seperti baru lulus kuliah. Setiap minggu mengirimkan paling tidak sepuluh amplop melalui PT. Pos, pergi ke warnet mengecek situs pencarian kerja, dan berlangganan koran setiap akhir pekan.

Satu bulan menganggur, akhirnya saya diterima bekerja di sebuah Apotek di bilangan Pondok Gede. Gajinya tentu saja sedikit lebih rendah. Tetapi cukup besar untuk kelas Apotek waktu itu. Pengalaman saya bekerja di Apotek pertama kali, dinodai dengan paraktik kecurangan Apotek tersebut. Hati nurani saya berontak. Bagaimana tidak, saya harus mengganti obat pasien dengan generik, tetapi memberi harga dengan harga obat bermerek. Itukan sama saja dengan menipu. Sudah mereka sakit, membeli obat dengan harga yang tidak murah, eh kok saya malah mencurangi. Hanya satu bulan, saya pun mengundurkan diri, dan diterima bekerja di sebuah Apotek jaringan di Menteng Jakarta Pusat.

Saat bekerja di Apotek jaringan ini, saya bekerja dua shift. Shift pagi jam 08:00 hingga15:00 dan shift siang jam 14:00 hingga jam 21:00. Waktu yang fleksibel, terlintas di pikiran saya untuk kembali ke bangku kuliah. Setelah meminta izin teman-teman dalam pengaturan shift.

Akhirnya Kuliah Lagi, S1

Saya sadar, hanya pendidikan yang bisa mengubah nasib saya. Kalau pendidikan saya hanya D3, akan selamnya saya menjadi bawahan. Akan selamanya saya tidak mempunyai jenjang karir jika bekerja di bidang farmasi.

Berbekal tabungan saya yang pas-pasan, saya nekat mendaftar kuliah. Tabungan saya cukup membiayai kuliah saya selama 2 semester. Saya mengambil kuliah di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jurusan Farmasi. Alasan saya memilih kuliah disitu yang pertama karena lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Kedua, waktunya bisa fleksibel, bisa pagi dan sore hari. Dengan begitu tidak mengganggu jam kerja saya.

Jika saya bekerja masuk pagi, sore hari saya langsung ke kampus. Kuliah hingga jam delapan malam. Sebaliknya jika saya kerja siang, maka jam tujuh pagi saya sudah di kampus. Belum lagi tugas, kuis, dan ujian yang tidak ada toleransi meski bekerja. Sering saya mencuri-curi waktu di Apotek jika sepi pengunjung untuk belajar atau mengerjakan tugas. Kuliah farmasi juga disibukkan dengan praktikum. Mengerjakan jurnal sebelum praktikum dan membuat laporan sesudahnya. Buat saya itu luar biasa. Sepertinya otak saya diminta tidak berhenti selama empat belas jam.

Perjuangan akan lebih berat jika ujian tiba. Pernah saya terlambat datang ujian karena kereta atau pun lalu lintas macet. Jarak apotek dan kampus lumayan jauh. Di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Pernah saya menangis, ketika paginya saya kuliah, lalu siang bekerja. Pulang malam, naik kendaraan umum lalu turun hujan dan badan basah kuyup. Waktu itu saya merasa Tuhan tidak adil. Kenapa harus saya, teman-teman saya tidak susah-susah amat seperti saya untuk bisa menyelesaikan S1. Waktu itu yang membuat saya tambah sedih, ketika Ibu ikutan menangis. Ibu selalu sabar menunggu saya di rumah. Hanya bisa menghibur saya dengan kata-katanya. “Kamu harus kuat Rin, inikan maunya kamu. Kuliah sambil bekerja.” Biasanya Ibu bilang begitu, saya makin kencang menangis dan langsung ambil air wudhu buat sholat dan mengadu ke Tuhan.

Saya harus kuat, perjuangan ini belum selesai. Sering saya berpikir untuk tidak bekerja saja dan fokus di kuliah. Tetapi dari mana nanti saya bayar kuliah, darimana untuk membeli pulsa. Jauh-jauh dari mall deh. Beli buku pun hanya sebatas buku kuliah. Tidak ada pos untuk membeli novel yang menjadi bacaan favorit.

Meski saya bekerja, saya tetap mengusahakan agar Indek Prestasi Kumulatif saya lebih dari tiga. Berbagai jalan saya lalui. Berusaha bergaul dengan teman-teman yang hanya fokus kuliah untuk mencari informasi bahan kuliah ataupun kumpulan-kumpulan soal menjelang ujian. Pokoknya meski sibuk kuliah tidak boleh asal-asalan. Bagaimana bisa untuk modal melamar kerja jika nilai IPK saya jelek.

Tidak selesai di urusan kuliah dan bekerja, ternyata ada lagi ujian di hidup saya. Apotek jaringan tempat saya bekerja dinyatakan bangkrut. Menurut saya sih karena salahnya manajemen. Tetapi entahlah saya tidak tahu menahu urusan itu. Saya kemudian pindah bekerja di Apotek di Kali Malang. Lucunya pembayaran gaji di sini dicicil  Tidak sampai satu bulan saya mengundurkan diri dan pindah ke sebuah rumah sakit di Bekasi.

Alhamdulillah diterima CPNS

Diantara carut-marut pekerjaan dan kesibukan kuliah, saya iseng-iseng menguji nasib untuk ikut tes CPNS di sebuah Kementerian. Mungkin waktu itu Tuhan sudah lelah mendengar tangisan dan keluhan saya, dan setelah melalui tes di Stadion Utama Senayan, saya dinyatakan lulus. Alhamdulillah, waktu itu tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya Ibu saya. Mungkin ini semua atas doa beliau.

Saya akhirnya bekerja di  Kementerian sambil menjalani  kuliah saya yang  tinggal dua mata kuliah dan tugas akhir alias skripsi. Meski pekerjaan saya cukup membuat saya nyaman, ternyata justru disinilah saya mengalami kesulitan mengatur waktu. Pekerjaan saya mengharuskan saya sesekali bertugas ke luar kota. Kalau sudah begitu, berat sekali untuk harus izin kuliah. Di lain sisi, di kantor saya masih anak baru yang belum punya hak suara, apalagi menolak perintah.

Di saat semangat kuliah yang menurun padahal tinggal selangkah lagi, tidak lelah Ibu memberi dukungan agar semua perjuangan saya kemarin tidak sia-sia. Terhitung satu tahun lamanya saya mengerjakan tugas akhir alias skripsi. Untuk menyelesaikan skripsi, saya mempunyai rekan yang tidak kalah sibuknya dengan saya. Positifnya kami bergantian memberikan motivasi. Pokoknya harus selesai. Ini tinggal sedikit lagi. Kalau melihat semua yang sudah kami lakukan dalam kuliah dan bekerja, sangat tidak rela jika kuliah ini tidak selesai.

Waktu itu, alhamdulillah saya juga punya kesibukkan baru, yaitu menyiapkan pernikahan. Calon suami yang sekarang sudah menjadi suami saya, juga ikutan direpotkan. Menemani saya di laboratorium sampai malam, ataupun ikutan wira-wiri menemui dosen pembimbing. Alhamdulilah akhirnya saya sidang dan dinyatakan lulus. Waktu itu hanya bisa bilang alhamdulillah dan akhirnya selesai juga.

Setahun lulus S1, saya kembali melanjutkan pendidikan profesi Apoteker di perguruan tinggi yang sama. Seperti dejavu, aktivitas pagi hari bekerja, sorenya kuliah hingga malam berulang. Kali ini ditambah mengurusi rumah tangga.

Pendidikan profesi tidak hanya belajar di bangku kuliah tetapi ada Praktik Kerja Profesi (PKP) di Rumah Sakit, Apotek, dan Instansi. Ketika PKP di Rumah Sakit selama 10 hari dan Apotek 1 bulan, hampir setiap hari saya harus naik taksi atau ojek dari kantor agar tidak terlambat.

Tidak terhitung biaya,waktu, dan tenaga yang dikorbankan. Apakah itu semua demi gelar? Buat saya perjuangan yang dilalui tidak sesederhana demi sebuah gelar. Saya haus akan ilmu dan orang tua saya yang selalu mengingatkan, kalau mereka tidak pernah bisa memberi apa-apa selain membekali saya ilmu. Iyah, sekolah. Ibu dan Bapak akan melakukan apa saja agar saya dan adik bisa terus sekolah.

Pendidikan D3 saya membuat saya terpacu untuk melanjutkan ke S1 dan ketika sudah selesai S1, alhamdulillah Pak Bos di kantor mendukung untuk saya nyambi kuliah  program profesi Apoteker. Alhamdulillah selesai dengan nilai yang lebih memuaskan dibanding S1 🙂

Lima tahun setelah Apoteker, alhamdulillah dapat rezeki buat lanjut S2. Kali ini gratis dibiayai negara. Bersyukur sekali rasanya.

Oh iya, waktu itu, tema tulisan ini untuk lomba dengan tema perjuangan demi gelar. Kalau buat saya sekarang, apalah arti gelar yang kita miliki jika tidak diiringi dengan peningkatan akan manfaat kehadiran diri kita di dunia. Pekerjaan saya kali ini mungkin tidak begitu mengaplikasikan praktik langsung ke masyarakat, tetapi dengan ilmu yang saya miliki, saya masih bisa menjawab jika keluarga, teman, ataupun kerabat yang bertanya sedikit tentang obat.

Saya tidak pernah menyesal dengan semua yang saya lalui. Saya bersyukur bisa bekerja di industri, apotek, dan rumah sakit dengan segala suka duka ceritanya. Saya beruntung dan lebih mudah dalam menjalani kuliah profesi, karena saya sudah pernah terjun langsung. Saya beruntung dengan segala yang saya lalui, itu yang menempa saya dan membuat saya tidak cengeng. Yah sesekali cengeng boleh lah :).

Semua perjuangan tersebut semakin menguatkan saya. Saya ingat ketika dalam berdoa saya tidak minta untuk dimudahkan urusan, saya hanya minta Tuhan menguatkan saya. Menjadikan saya pribadi yang kuat dan tidak cengeng dalam menjalani semua takdirnya. Seperti salah satu ayat alquran favorit saya. “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.”

Buat teman-teman yang masih pusing dengan sekolah, skripsi atau apalah itu, yakin, semuanya akan lewat dan akan tersenyum pada waktunya.

Tersenyum di Ha Long Bay
Senyumin Ajaaa