Senyumin Aja, Meski Ku Suka Manyun Juga :)

Tulisan ini saya tulis, ketika ada sebuah kompetisi apalah waktu itu dan lumayan masuk 10 tulisan terbaik. Meski katanya mau dibukukan, tapi sampai sekarang belum juga tuh. Hehehe. Ya sudahlah biar saja, yang penting saya jadi produktif menulis lagi.

Ini sebuah cerita salah satu perjalanan hidup saya yang lumayan seru. Berawal dari seorang teman yang curhat waktu nilainya kurang bagus saat kuliah S2 ini, dan mengeluhkan keadaannya yang harus sekolah sambil bekerja. Meski katanya sekolah dibiayai orang tua, tapi gak enak kalau resign. Kalau teman-teman cerita begitu, saya jadi ingat kalau saya pernah di kondisi seperti mereka. Kuliah sambil bekerja. Kenapa? Ya harus, kalau gak kerja, dari mana saya bayar kuliah? 🙂

Kalau mengingat kondisi waktu itu, rasanya sulit sekali saya membayangkan saya bisa sampai di titik hidup saya sekarang (belom apa-apa juga sih) tapi saya bersyukur banget banget, kalau melihat perjuangan saya yang bahkan menyelesaikan S1 ajah kok harus huuuuu haaaahhhh sekali. Cuma satu ajah sih, yakin keadaan bisa berubah hanya saya dengan sekolah. Demi keluarga, dan orang tua. Itu tiga cuyyyy… Hihihi… plis jangan ketawa bacanya.

Mau Kuliah Lagi Setelah Selesai D3

“Pak, aku maunya sih, sekolah lagi. Lanjutin S1, seperti teman-temanku si Rahma, Rifqy, dan Santi.” Curhatku ke Bapak siang itu, ketika sudah hampir dipastikan saya akan segera menamatkan kuliah saya di Politeknik Kesehatan Jakarta II Jurusan Farmasi.

Tiga tahun sudah akhirnya saya berhail menamatkan pendidikan di sana. Buat saya itu tidak mudah. Bukannya tidak suka, tetapi sepertinya kemampuan otak kiri saya semakin berkurang seiring dengan usia. Agak terengah-engah buat saya untuk bisa lulus mata kuliah ilmu pasti seperti Matematika, Fisika, ataupun Kimia. Tetapi, kalau sudah masuk mata kuliah berkenaan dengan obat dan fungsi saya bisa lebih mudah menerimanya dengan menggunakan logika berpikir. Menurut saya lebih mudah dibayangkan.

Waktu itu Bapak hanya menjawab, “Memangnya biaya untuk kuliah berapa? Tahun ini Bapak sudah pensiun lo.”  Sambil matanya menatap keluar jendela di ruang tamu.

“Ya sudah Pak, saya mau coba kerja saja. Nanti nabung sendiri buat lanjut S1.” Saya menutup pembicaraan dengan mencari jalan terbaik yang saya bisa. Padahal dalam hati saya sangat iri dengan teman-teman yang bisa melanjutkan kuliah. Mereka mendaftar di sebuah perguruan tinggi negeri program ekstensi di bilangan Depok, Jawa Barat. Tetapi saya buru-buru membuang jauh rasa iri itu. Ini mungkin jalan saya. Ingat, saya waktu itu memutuskan memilih program D3 Farmasi agar bisa selesai tepat waktu saat Bapak pensiun. Selain itu, agar cepat dalam mendapat pekerjaan. Jadi ya terima saja, toh waktu itu cita-cita saya, sesederhana itu. Ingin membantu ekonomi keluarga.

Bertepatan dengan saya menamatkan sarjana muda saya, bapak pensiun. Bersamaan pula dengan adik saya lulus SMU. Saya tidak boleh egois. Adik saya harus kuliah juga. Meski Ibu bekerja, pendapatan Ibu tidak seberapa untuk membiayai kuliah adik saya.  Uang pensiun Bapak tentu tidak cukup untuk membiayai saya melanjutkan sekolah ke jenjang strata satu yang tidak murah.

Tabungan? Jangan ditanya. Kami bukan keluarga berlebih yang mempunyai tabungan pendidikan, dana cadangan atau apalah seperti istilah perencana keuangan yang sedang ngetren saat ini. Bapak seorang Pegawai Negeri Sipil yang hanya tamatan SMU, belum ada yang namanya tunjangan kinerja, di tempat Bapak juga tidak ada dinas keluar kota. Ibu bekerja di Balai Kesehatan Masyarakat sebagai pegawai administrasi yang gajinya dicukup-cukupkan untuk biaya hidup kami, terutama sekolah.

Kami bisa sekolah melanjutkan kuliah, mungkin dengan pinjaman dari koperasi tempat Ibu bekerja. Kami makan seadanya dan hampir tidak pernah jajan makan di luar. Meski Ibu bekerja dan harus berangkat jam 05:30 setiap hari Senin-Sabtu, Ibu selalu menyiapkan sarapan pagi dan bekal kami untuk makan siang. Sepulang kerja jam tiga sore, Ibu langsung memasak, kadang juga menyetrika pakaian. Waktu itu kami sudah bisa membantu membersihkan rumah dan mencuci pakaian.

Diterima Kerja Pertama, Senangnya

Alhamdulillah adik saya diterima di Universitas Negeri Jakarta. Doa Ibu dan Bapak juga membuat saya bisa dengan mudah diterima disebuah industri farmasi di daerah Cikarang, Jawa Barat. Buat kami yang hanya lulusan D3, diterima bekerja di industri farmasi, merupakan suatu kebanggan tersendiri. Apalagi waktu itu saya belum resmi di wisuda. Teman-teman saya masih berjibaku mengirimkan surat lamaran kesana kemari, alhamdulillah saya sudah dapat pekerjaan.

Pendidikan saya yang hanya D3, tidak bisa membuat saya langsung bekerja sebagai karyawan tetap. Saya terikat kontrak dengan status “KKWT” alias “Karyawan Kontrak dengan Kesepakatan Waktu Tertentu. Untuk percobaan, saya dikontrak selama satu tahun. Kelanjutannya akan dinilai oleh atasan langsung. Apakah saya akan diangkat menjadi karyawan tetap ataukah saya diputus kontrak, yang berarti saya akan jadi pengangguran.

Semangat fresh graduate yang ingin membuktikan kemampuan, saya bekerja dengan giat. Lokasi kantor yang di luar kota, membuat saya harus datang pagi-pagi buta dan pulang saat matahari tenggelam. Belum lagi adanya shift yang mengharuskan saya pulang jam dua dini hari jika saya mendapatkan shift kedua. Satu lagi, jika produksi sedang tinggi, kadang kami juga melakukan long shift. Jam 7 pagi sampai jam 7 malam atau dibalik, jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Seperti zombie rasanya waktu itu. Pagi hari tidur, malam hari harus bekerja. Belum lagi tuntutan dari atasan saya yang lumayan tinggi buat pemula seperti saya. Menurut beliau, di sini kami harus bekerja, bukan belajar, karena di sini kantor bukan universitas. Aduh, kalau ingat itu kadang suka senyum-senyum saja sih.

Meski terasa berat, saya tetap menjalani pengalaman kerja pertama saya dengan fun. Pertama, saya senang sekali, bekerja di industri farmasi, karena ilmu yang saya pelajari bisa benar-benar diaplikasikan. Bahkan ilmu saya tambah banyak. Belajar dari para senior dan apoteker-apoteker yang menurut saya mereka semua jenius sangat cinta pada dunia farmasi. Teman-teman di kantor juga hampir seusia. Beberapa kali kami mengadakan jalan-jalan bareng seperti ke Bandung dan Anyer. Pokoknya bahagia deh.

Hingga pada suatu hari, kontrak saya akhirnya diselesaikan, karena atasan langsung saya sepertinya kurang puas dengan kinerja saya. Entahlah mungkin ini saya yang salah. Saya tidak cepat beradptasi. Tapi akhirnya saya terima saja. Berat sekali hidup saya waktu itu. Setahun sudah bekerja lalu menjadi pengangguran lagi dan serasa kembali ke titik nol.

Sepertinya Sudah Lelah 

Mulailah saya mencari-cari pekerjaan lagi seperti baru lulus kuliah. Setiap minggu mengirimkan paling tidak sepuluh amplop melalui PT. Pos, pergi ke warnet mengecek situs pencarian kerja, dan berlangganan koran setiap akhir pekan.

Satu bulan menganggur, akhirnya saya diterima bekerja di sebuah Apotek di bilangan Pondok Gede. Gajinya tentu saja sedikit lebih rendah. Tetapi cukup besar untuk kelas Apotek waktu itu. Pengalaman saya bekerja di Apotek pertama kali, dinodai dengan paraktik kecurangan Apotek tersebut. Hati nurani saya berontak. Bagaimana tidak, saya harus mengganti obat pasien dengan generik, tetapi memberi harga dengan harga obat bermerek. Itukan sama saja dengan menipu. Sudah mereka sakit, membeli obat dengan harga yang tidak murah, eh kok saya malah mencurangi. Hanya satu bulan, saya pun mengundurkan diri, dan diterima bekerja di sebuah Apotek jaringan di Menteng Jakarta Pusat.

Saat bekerja di Apotek jaringan ini, saya bekerja dua shift. Shift pagi jam 08:00 hingga15:00 dan shift siang jam 14:00 hingga jam 21:00. Waktu yang fleksibel, terlintas di pikiran saya untuk kembali ke bangku kuliah. Setelah meminta izin teman-teman dalam pengaturan shift.

Akhirnya Kuliah Lagi, S1

Saya sadar, hanya pendidikan yang bisa mengubah nasib saya. Kalau pendidikan saya hanya D3, akan selamnya saya menjadi bawahan. Akan selamanya saya tidak mempunyai jenjang karir jika bekerja di bidang farmasi.

Berbekal tabungan saya yang pas-pasan, saya nekat mendaftar kuliah. Tabungan saya cukup membiayai kuliah saya selama 2 semester. Saya mengambil kuliah di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jurusan Farmasi. Alasan saya memilih kuliah disitu yang pertama karena lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Kedua, waktunya bisa fleksibel, bisa pagi dan sore hari. Dengan begitu tidak mengganggu jam kerja saya.

Jika saya bekerja masuk pagi, sore hari saya langsung ke kampus. Kuliah hingga jam delapan malam. Sebaliknya jika saya kerja siang, maka jam tujuh pagi saya sudah di kampus. Belum lagi tugas, kuis, dan ujian yang tidak ada toleransi meski bekerja. Sering saya mencuri-curi waktu di Apotek jika sepi pengunjung untuk belajar atau mengerjakan tugas. Kuliah farmasi juga disibukkan dengan praktikum. Mengerjakan jurnal sebelum praktikum dan membuat laporan sesudahnya. Buat saya itu luar biasa. Sepertinya otak saya diminta tidak berhenti selama empat belas jam.

Perjuangan akan lebih berat jika ujian tiba. Pernah saya terlambat datang ujian karena kereta atau pun lalu lintas macet. Jarak apotek dan kampus lumayan jauh. Di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Pernah saya menangis, ketika paginya saya kuliah, lalu siang bekerja. Pulang malam, naik kendaraan umum lalu turun hujan dan badan basah kuyup. Waktu itu saya merasa Tuhan tidak adil. Kenapa harus saya, teman-teman saya tidak susah-susah amat seperti saya untuk bisa menyelesaikan S1. Waktu itu yang membuat saya tambah sedih, ketika Ibu ikutan menangis. Ibu selalu sabar menunggu saya di rumah. Hanya bisa menghibur saya dengan kata-katanya. “Kamu harus kuat Rin, inikan maunya kamu. Kuliah sambil bekerja.” Biasanya Ibu bilang begitu, saya makin kencang menangis dan langsung ambil air wudhu buat sholat dan mengadu ke Tuhan.

Saya harus kuat, perjuangan ini belum selesai. Sering saya berpikir untuk tidak bekerja saja dan fokus di kuliah. Tetapi dari mana nanti saya bayar kuliah, darimana untuk membeli pulsa. Jauh-jauh dari mall deh. Beli buku pun hanya sebatas buku kuliah. Tidak ada pos untuk membeli novel yang menjadi bacaan favorit.

Meski saya bekerja, saya tetap mengusahakan agar Indek Prestasi Kumulatif saya lebih dari tiga. Berbagai jalan saya lalui. Berusaha bergaul dengan teman-teman yang hanya fokus kuliah untuk mencari informasi bahan kuliah ataupun kumpulan-kumpulan soal menjelang ujian. Pokoknya meski sibuk kuliah tidak boleh asal-asalan. Bagaimana bisa untuk modal melamar kerja jika nilai IPK saya jelek.

Tidak selesai di urusan kuliah dan bekerja, ternyata ada lagi ujian di hidup saya. Apotek jaringan tempat saya bekerja dinyatakan bangkrut. Menurut saya sih karena salahnya manajemen. Tetapi entahlah saya tidak tahu menahu urusan itu. Saya kemudian pindah bekerja di Apotek di Kali Malang. Lucunya pembayaran gaji di sini dicicil  Tidak sampai satu bulan saya mengundurkan diri dan pindah ke sebuah rumah sakit di Bekasi.

Alhamdulillah diterima CPNS

Diantara carut-marut pekerjaan dan kesibukan kuliah, saya iseng-iseng menguji nasib untuk ikut tes CPNS di sebuah Kementerian. Mungkin waktu itu Tuhan sudah lelah mendengar tangisan dan keluhan saya, dan setelah melalui tes di Stadion Utama Senayan, saya dinyatakan lulus. Alhamdulillah, waktu itu tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya Ibu saya. Mungkin ini semua atas doa beliau.

Saya akhirnya bekerja di  Kementerian sambil menjalani  kuliah saya yang  tinggal dua mata kuliah dan tugas akhir alias skripsi. Meski pekerjaan saya cukup membuat saya nyaman, ternyata justru disinilah saya mengalami kesulitan mengatur waktu. Pekerjaan saya mengharuskan saya sesekali bertugas ke luar kota. Kalau sudah begitu, berat sekali untuk harus izin kuliah. Di lain sisi, di kantor saya masih anak baru yang belum punya hak suara, apalagi menolak perintah.

Di saat semangat kuliah yang menurun padahal tinggal selangkah lagi, tidak lelah Ibu memberi dukungan agar semua perjuangan saya kemarin tidak sia-sia. Terhitung satu tahun lamanya saya mengerjakan tugas akhir alias skripsi. Untuk menyelesaikan skripsi, saya mempunyai rekan yang tidak kalah sibuknya dengan saya. Positifnya kami bergantian memberikan motivasi. Pokoknya harus selesai. Ini tinggal sedikit lagi. Kalau melihat semua yang sudah kami lakukan dalam kuliah dan bekerja, sangat tidak rela jika kuliah ini tidak selesai.

Waktu itu, alhamdulillah saya juga punya kesibukkan baru, yaitu menyiapkan pernikahan. Calon suami yang sekarang sudah menjadi suami saya, juga ikutan direpotkan. Menemani saya di laboratorium sampai malam, ataupun ikutan wira-wiri menemui dosen pembimbing. Alhamdulilah akhirnya saya sidang dan dinyatakan lulus. Waktu itu hanya bisa bilang alhamdulillah dan akhirnya selesai juga.

Setahun lulus S1, saya kembali melanjutkan pendidikan profesi Apoteker di perguruan tinggi yang sama. Seperti dejavu, aktivitas pagi hari bekerja, sorenya kuliah hingga malam berulang. Kali ini ditambah mengurusi rumah tangga.

Pendidikan profesi tidak hanya belajar di bangku kuliah tetapi ada Praktik Kerja Profesi (PKP) di Rumah Sakit, Apotek, dan Instansi. Ketika PKP di Rumah Sakit selama 10 hari dan Apotek 1 bulan, hampir setiap hari saya harus naik taksi atau ojek dari kantor agar tidak terlambat.

Tidak terhitung biaya,waktu, dan tenaga yang dikorbankan. Apakah itu semua demi gelar? Buat saya perjuangan yang dilalui tidak sesederhana demi sebuah gelar. Saya haus akan ilmu dan orang tua saya yang selalu mengingatkan, kalau mereka tidak pernah bisa memberi apa-apa selain membekali saya ilmu. Iyah, sekolah. Ibu dan Bapak akan melakukan apa saja agar saya dan adik bisa terus sekolah.

Pendidikan D3 saya membuat saya terpacu untuk melanjutkan ke S1 dan ketika sudah selesai S1, alhamdulillah Pak Bos di kantor mendukung untuk saya nyambi kuliah  program profesi Apoteker. Alhamdulillah selesai dengan nilai yang lebih memuaskan dibanding S1 🙂

Lima tahun setelah Apoteker, alhamdulillah dapat rezeki buat lanjut S2. Kali ini gratis dibiayai negara. Bersyukur sekali rasanya.

Oh iya, waktu itu, tema tulisan ini untuk lomba dengan tema perjuangan demi gelar. Kalau buat saya sekarang, apalah arti gelar yang kita miliki jika tidak diiringi dengan peningkatan akan manfaat kehadiran diri kita di dunia. Pekerjaan saya kali ini mungkin tidak begitu mengaplikasikan praktik langsung ke masyarakat, tetapi dengan ilmu yang saya miliki, saya masih bisa menjawab jika keluarga, teman, ataupun kerabat yang bertanya sedikit tentang obat.

Saya tidak pernah menyesal dengan semua yang saya lalui. Saya bersyukur bisa bekerja di industri, apotek, dan rumah sakit dengan segala suka duka ceritanya. Saya beruntung dan lebih mudah dalam menjalani kuliah profesi, karena saya sudah pernah terjun langsung. Saya beruntung dengan segala yang saya lalui, itu yang menempa saya dan membuat saya tidak cengeng. Yah sesekali cengeng boleh lah :).

Semua perjuangan tersebut semakin menguatkan saya. Saya ingat ketika dalam berdoa saya tidak minta untuk dimudahkan urusan, saya hanya minta Tuhan menguatkan saya. Menjadikan saya pribadi yang kuat dan tidak cengeng dalam menjalani semua takdirnya. Seperti salah satu ayat alquran favorit saya. “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.”

Buat teman-teman yang masih pusing dengan sekolah, skripsi atau apalah itu, yakin, semuanya akan lewat dan akan tersenyum pada waktunya.

Tersenyum di Ha Long Bay
Senyumin Ajaaa

 

 

“Korban First Travel?” Iyah, Saya :)

“Sesekali saya mau nulis yang kekinian ah… Apayah?” Begitu yang ada dalam benak saya belakangan ini. Sibuknya dunia awal perkuliahan saya, dengan jadwal satu hari weekend, mau gak mau ya jadi agak susah buat jalan-jalan dalam jangka waktu lama. Mungkin nantilah pas libur kuliah semesteran. Berawal karena hal itulah, saya jadi semangat buat nulis yang kekinian. Meski dengan menulis ini membuka aib “kebodohan” saya sendiri sih. Gak papalah, selain buat dokumentasi arsip pribadi, semoga bisa jadi pelajaran juga buat pembaca blog saya.

“Korban First Travel? Kok Bisa?”

Waktu itu di tahun 2016, alhamdulillah saya ditugaskan dari kantor ke Arab Saudi sebagai tim penerima obat yang akan digunakan jamaah haji Indonesia. September 2016 setahun lalu tepatnya.

Ini oleh-oleh tulisan saya waktu itu : Makanan Khas Arab yang Yummy (Worktrip Arab Saudi Part 2)   

Selama tujuh hari berada di Arab, tentu sangat berkesan sekali buat saya. Bagaimana tidak? Menginjakkan kaki di tanah haram adalah impian setiap umat muslim di manapun. Meski ketika itu tentu waktu saya sebagian besar ya buat bekerja tetapi kami tetap menyempatkan diri untuk beribadah di tanah berdirinya kiblat umat muslim seluruh dunia.

Kenangan spiritual ataupun duniawi sangat membekas. Hingga terbesit keinginan untuk suatu saat saya bersama suami akan bisa bersama-sama beribadah ke Mekkah. Singkat cerita, salah seorang teman saya yang juga berangkat saat itu menceritakan pengalaman umrohnya bersama suami dengan biro perjalan yang terbilang biayanya cukup murah.

“Iyah, enak kok, kemarin gue sama suami bareng Kak Naningnung nengnong tuh malah tiap tahun.” bebernya lagi mempromosikan sebuah biro perjalanan umroh yang kemudian akan dibekukan pemerintah di pertengahan 2017

Iya, disitulah saya mulai tergerak penasaran dengan yang namanya First Travel. Agak bimbang terus terang saya waktu itu, hingga Bos saya, juga bercerita beliau sudah dua kali berangkat umroh dengan biro perjalanan yang sama, First Travel. Bergeser ke ruangan sebelah, teman saya sejak kuliah, sebut saja Mawar menceritakan bahwa dia dan suaminya baru melakukan umroh dengan lagi-lagi First Travel. Tidak hanya Mawar ternyata di ruangan tersebut, ada juga Ibu Titi Teliti dan Pak Anwar Fuadi dan keluarganya.

Mereka semua saya tanyakan bagaimana bisa umroh dengan budget minim di sana? Bagaimana hotelnya? Bagaimana cateringnya? Bagaimana pelayanan-pelayanan lainnya. Mereka kompak menjawab bagus dan memuaskan. Tentu saja disesuaikan dengan uang yang sudah mereka bayarkan, pelayanan terbilang bagus.

Perlu diketahui, sebelumnya saya bermaksud menawarkan kedua orang tua saya buat umroh. Tidak dengan First Travel dengan biro perjalanan lainnya. Sudah jelas tanggal berangkat dengan harga lebih mahal tentunya. Kalau waktu itu First Travel 14 jutaan, biro perjalanan tersebut menawarkan di harga 22 juta sekian sekian. Kemudian Ibu dan Bapak memilih menggunakan dana tersebut untuk daftar haji. Baiklah Ibu dan Bapak kemudian daftar haji dan masih dalam proses mengantri.

Berbekal pengalaman saya di Arab ketika dinas, saya pikir kami (saya dan suami) masih usia yang cukup sehat untuk beribadah di sana meski dengan biaya yang murah sekalipun. Mumpung masih muda. Gak papahlah, toh kemarin saya bisa kok ketika dinas ke Mekkah naik taksi atau mau ke pasar mau beli apa secara mandiri tanpa biro atau agen perjalanan.

Bismillah, saya meminta suami untuk mendaftar ke kantor First Travel di daerah Depok. Kesana sendiri tanpa melalui agen atau paksaan. Mengambil formulir, menyiapkan foto untuk visa, membayar DP sampai harus melunasi beberapa hari kemudian. Kami juga menerima kalau kami akan berangkat di Tahun 2017 bulan April.

Hingga di penghujung 2016, suami ikut manasik umroh yang diselenggarakan First Travel di Masjid Istiqlal yang luar biasa jamaahnya memenuhi seluruh tempat di Masjid terbesar se-Asia Tenggara itu. Saya memilih tidak ikut. Selain tahu akan penuh, toh saya sudah pernah umroh. Suami berangkat sendiri pagi-pagi sekali agar mudah mendapat parkir. Di sana suami bertemu dengan tetangga dekat rumah, yang belakangan kami tahu beliau membawa atau mengajak beberapa jemaah. Entah beliau agen atau hanya membantu sampai sekarang saya tidak tahu.

Oh iyah, saat itu di ruangan saya di kantor, tidak hanya saya saja yang tertarik. Bu Lily Kasoem Optik, Bu Philips dengan suami, dan Pak Steward bahkan sekeluarga dengan istri dan dua anaknya.

Di penghujung 2016, mulai terdengar kehebohan di media tentang First Travel. Banyak jemaah yang dijanjikan akan berangkat di Januari 2017 belum juga diberangkatkan. Berita yang awalnya simpang siur mulai terbukti benar adanya. Bu Lily Kasoem Optik bergabung dengan grup WA yang mulai membuat aduan ke Kementerian Agama. Ketika itu Kemenag belum juga membekukan First Travel. Lucunya lagi, iklan dan tawaran First Travel masih dengan mudah ditemui di media sosial seperti Instagram.

Mulai Aneh, Minta Refund dan “Kembalikan Paspor Saya!”

Lucunya First Travel itu yah, paspor sudah diminta jauh-jauh hari banget. Katanya sih buat urus visa. Yaelah visa kan kalau lancar begini paling beberapa hari juga jadi. Oke, mikirnya jemaah banyak. Saya sudah meneyerahkan paspor di akhir 2016.

Suami yang memang masih membutuhkan paspor dalam rangka kerja, memilih akan membayar lebih yaitu sebesar tiga juta jika belakangan menyerahkan paspor. Ini yang bikin sebel. Suami waktu itu ada kerjaan ke Jerman dan Italia, dan saya yang tadinya mau ikut memilih gak ikut karena tahun depan mau umroh, harus menerima kenyataan pahit. Gagal ke Eropa dan gagal umroh. Wkwkwkwkw. Kasihan deh lo.

Bulan April 2017, kegaduhan mulai terjadi. Pihak First Travel tiba-tiba memenerapkan aturan tambahan biaya sebesar 2,5 juta rupiah bagi program umroh promo jika mereka akan diberangkatkan. Konon katanya biar bareng sama jemaah reguler. Nah loh, awalnya ajah udah molor setahun, kok tiba-tiba minta nambah terus bisa berangkat. Piye to? Gak masuk akal.

Mulai mencium keanehan, saya minta suami ke kantor First Travel. Minta refund dan ambil paspor saya. Sebel banget pokoknya. I want my paspor back. Paspor ditahan itu kayak kena banned sama pemerintah kalau saya itu penjahat, jadi gak boleh ke luar negeri. Sumpah sebel banget.

Alhamdulillah yah (selalu ada alhamdulillah di setiap peristiwa) suami kerjanya fleksibel. Jadi yang mondar mandir ke kantor First Travel yang mulai rusuh banget itu ya suami. Setiap habis dari kantor First Travel selalu ada ajah cerita sedih yang dibawa.

Cerita jemaah yang gagal berangkat padahal sudah menunggu dua tahun, ada anak yang memperjuangkan orang tuanya yang mau umroh, ada curhat para agen yang memperjuangkan orang-orang yang mereka bawa, hingga curhat para Customer Service First Travel yang menjadi sasaran amukan massa jemaah.

Kenapa Jualan yang Sifatnya Spiritual Laris Manis ?

Setelah formulir refund kami terima yang katanya akan cair 90 hari kerja dan paspor saya kembali, hati agak lega. Bahkan kemudian saya langsung gatel memakai paspor yang telah ama hilang itu. Hahahahaha. Lebay. Iyah saya langsung ikut nemanin suami ke Thailand. Hihihi.

Bagaimana dengan uang refund yang dijanjikan? Sudahkah cair? Tentu saja belum Saudara-saudara. Bolak-balik suami nanya, “Udah ada uang masuk, ke rekening kamu?” Saya cuma bisa jawab, “Yaelah gak usah diharapin deh…” bahkan saya menjawab demikian sebelum kedua Bos FT itu dijebloskan ke penjara. Apalagi sekarang Bos mereka sudah di penjara. Jelas keuangan pribadi dan perusahaan yang disatukan ditambah manajemen yang carut marut, hampir dipastikan kecil sekali kemungkinan dana kami akan kembali.

Terus, saya sedih gak? Ya sedih mah pasti. Tapi kok ya mau gimana lagi. Kekayaan mereka tidak sebanding dengan jemaah yang belum berangkat. Belum lagi stake holder yang mereka hutangi. Sebatas melapor ke Bareskrim akan kami tempuh.

Banyak teman-teman saya yang bilang, aduh manusia Indonesia nih. Pasrah dan menerima, bilangnya musibah dan takdir. Usaha dong. Yaelah mbak dibanding ngeributin dana kami yang hilang, waktu kami akan lebih berharga buat hal-hal yang jauh lebih berharga saat ini. Bukan berarti uang 28 juta sekian kami itu gak berharga, tapi ya itu, uang atau kekayaan milik Bos FT (kalau mereka jujur) sudah pasti tidak akan bisa membayar kembali uang jemaah yang belum diberangkatkan. Beda halnya kalau kami sebagai agen yang membawa jemaah banyak. Mungkin kami akan fight sekuat tenaga.

Apa kami menutut pemerintah buat ganti? Ih sumpah gak rela, meski kami jadi korban penipuan, tapi kalau pemerintah yang harus ganti. Kami gak mau. Yah uang pemerintah dari mana kalau bukan dari pajak rakyat? Kasihan banget rakyat Indonesia suruh mengganti kerugian gara-gara nafsu manusia serakah macam AA itu. Kalau gitu enak dong kalau kita nipu ajah, jalan-jalan ke luar negeri. Kemudian nanti diganti sama pemerintah. Bisa kualat sama satu rakyat Indonesia kalau begitu.

Penipuan yang gampang itu, di Indonesia memang ya main di seputar spiritual sih. Manusia Indonesia gampang banget mengeluarkan uang dengan dalih ibadah spiritual. Entahlah.

Pernah dengar nih, kok bisa murah yah, katanya lagi si Ibu Anisa itu sudah kaya,  punya usaha banyak, jadi ingin bantu orang Indonesia ibadah. Hadewh… mamam noh bantu. Berangkatin artis beserta keluarganya dengan fasilitas VIP, dan memprioritaskan pegawai-pegawai rombongan kantor pemerintah agar citranya bagus. Apalagi kalau lihat postingan IG-nya yang foto-foto di luar negeri. Ku tak sanggup gak menyinyir.

Hati-hati Mempromosikan Sesuatu yang Di Luar Kewajaran

Iyah, awalnya mungkin hanya ingin testimoni, tapi saya sama sekali gak menyalahkan teman saya, sampai Bos saya. Jujur awalnya kesel tapi ya saya kan juga sadar pergi ke Kantor FT sendiri, bayar, dan semuanya murni sadar dengan yang saya lakukan. Jadi ya gak bisa menyalahkan mereka. Bahkan ketika sudah bayar dan cerita ke Bapak Mertua pun dimarahin. Hehehe.

Sedih itu seperti Bu Lily Kasoem Optik yang anaknya bermaksud membahagiakan sang mertua, eh kemudian begini kejadiannya. Baik hati Bu Lily sedang mengusahakan agar besannya tetap bisa berangkat umroh dengan biro perjalanan lain, meski dia dan keluarganya gotong royong mencari dana. Lucunya lagi, besannya Bu Lily itu gak tauk apa-apa dong tentang hebohnya kasus FT ini. Padahal tinggal sebelahan. Kadang hidup butuh begitu. Tidak perlu tahu banyak. Salah satu efek kamu tahu banyak ini nih. Ikutan dan ditipu. Hahahhaha…

Jadi, kalau kemudian teman saya di Bus antar jemput kantor bertanya dengan lantangnya, “Eh, di sini gak ada yang korban First Travel, kan?”

Saya akan dengan lantang menjawab, “Ada. Saya. Iyah, saya korban First Travel.”

Kemudian akan diikuti lagi pertanyaan, “Kok bisa? Mbak?”

Kemudian cerita bergulir, hingga teman saya berkata, “Iyah sih kalo gue kayak lo juga gue tergiur. Untungnya di ruangan gue gak ada yang ikut First Travel.” Hahahhaha. Kami tertawa bersama. Dalam hati sih saya meringis menahan tangis. 😦

 

 

Hati-hati Kalau ke Toilet, Apalagi di Negara Orang :(

Sebenarnya dengan menuliskan hal ini, sedikit membuka aib diriku. Sumpah tulisan ini juga sangat tidak bermanfaat bagi pembacanya. Pokoknya gak dibutuhkan sama orang-orang, sehingga gak mungkin tulisan ini meningkatkan trafic blog saya. Hehehehe. Tapi ya sudahlah, semoga bisa jadi pelajaran buat teman-teman yang lain.

Entah apa yang terjadi pada metabolisme tubuh saya ketika di tempat yang sedikit ber-ac atau agak dingin sedikit. tiba-tiba saja selalu ada hasrat panggilan untuk ke belakang. Maksudnya ke belakang di sini tentu saja ke toilet. Bukan buang air kecil, tapi buang air besar. ups. Maaf kalau tulisan ini agak menyebalkan. Ya udah silahkan jangan lanjutkan bacanya.

Keinginan BAB di tempat umum ini sudah lama. Sepertinya sudah dua puluh tahun yang lalu. Dari Mall yang besar sampai cuma Indomaret atau Alfamart, saya sudah pernah loh. Bandara mah jangan ditanya. Pasar tradisional aja pernah. Parah kan? Pokoknya orang-orang terdekat sayamah sudah tauk banget kebiasaan saya yang nggak banget ini.

Sepertinya jejak banyak saya tinggalkan di mana-mana. Tapi ada yang paling banget gak bisa saya lupa. Itu sekitar beberapa tahun lalu, ketika jalan-jalan ke Bangkok. Lebih tepatnya ketika kami akan mengunjungi museum Madame Tussaud.

Museum Madame Tussaud memang terletak di Mall, namanya Mall Siam Paragon. Pagi-pagi kami sudah tiba di sana. Belum lama masuk mall, langsung deh perut berasa muter alias mules gitu. Saya pun segera mencari toilet.

Tauk dong mall di Bangkok, yang megah dan besar, toilet sudah pasti bersih dan modern. Pagi itu pengunjung mall pun masih bisa dihitung dengan jari. Masih sepi. Begitu masuk toilet pun yang ada hanya mbak-mbak petugas kebersihan toilet. Asyik bisa aman dan nyaman nih. Memang agak kurang nyaman kan kalau lagi kebelet Pup toliet antri. Mending gak deh. Hehehehe.

Saya pilih toilet yang paling pojok dong. Alasannya biar apa? Toilet pojok kan letaknya di ujung. Pasti jarang dipakai sama pengunjung lain. pasti mereka langsung incar yang di depan. eh tapi, kalau sebagian besar orang berpikiran seperti saya. Toilet pojok paling sering dipakai dong ya.

Langsung deh saya duduk manis. Masalah terjadi ketika saya menekan tombol flush toilet duduknya. Jreng… jreng.. kok gak bisa. Cuma bluk-bluk. What… ya Allah gimana dong. Coba lagi, coba lagi sampai berkali-kali belum berhasil. Ih, si Zaki sudah bolak-balik nelpon aja. Bodo amat cuekin ajah. Ini masalah genting.

Kondisi toilet yang sepi, kan malu banget. Belum lagi di sini saya turis. Dari Indonesia pula. Aduh bisa di cap jelek dong turis Indonesia. Padahal kan emang mesin flush toiletnya yang rusak. Gila yah ini mall besar kok bisa toiletnya rusak. Masih ada untungnya nih, ada showernya. Datanglah akal saya menggunakan kekuatan shower untuk menyiram “sampah” toilet. Lama sih emang, tapi… yeay it works. Alhamdulillah berhasil.

Sumpah saya kesel banget, pagi-pagi dapat zonk masalah di toilet begini. Ya ampun kenapa juga pas di Bangkok begini. Keluar toilet saya pun coba protes ke mbak-mbak penjaga kebersihan pake Bahasa Inggris. Baik-baik tentunya. Dia cuma ngangguk-ngangguk aja. tauk deh ngerti apa nggak.

Moment ini memberi pelajaran buat saya, sebelum pakai toilet cek terlebih dahulu apakah mesin flush nya berfungsi dengan baik atau tidak. Entah itu di Indonesia atau di manapun alam memanggilmu. Camkan itu Rini. Camkan.

Meski agak bete kemudian saya bisa bertemu dengan idola sejak zaman SMP. Selalu ada alhmadulillah… :)))

Rini dan Beckham
Finally Meet Him in Personal even just of his statue :)))))

 

 

Kembali Ke Sekolah :)

Hari ini Senin  pertama di Bulan September. Senin itu, buat saya dan kebanyakan orang adalah hari yang horor. Berbeda dengan saya yang  dulu dan sekarang. Now, I Love Monday very much. Why??? Because this day is my free day… Buat saya, Senin kali ini adalah hadiah buat lelah saya di akhir minggu. Hihihihi. Kok bisa libur? Gak kerja? Yup. Saya lagi off dari kantor selama dua tahun kedepan dalam rangka tugas belajar. Tugas belajar? Apakah itu? Heumh… baiklah saya jelaskan sedikit yah.

Jadi tugas belajar itu buat saya adalah suatu reward buat seorang Pegawai Negeri Sipil macam saya ini. Mungkin hal ini juga lah yang membuat saya tertarik buat menjadi PNS selain zona nyamannya. Omong-omong zona nyaman, kamu akan merasa mencari zona nyaman kamu ketika kamu berada di zona yang bisa dikatakan tidak nyaman menurutmu. Tetapi, ketika kamu sudah bisa mencapai zona nyamanmu, salah satu pembisik dihatimu akan berteriak lagi dan lagi. “Yah ampun, ngapain lagi ini??? Bosannnn…'” begitu kira-kira. Kemudian kamu akan mencari hal-hal baru lagi dan akan berteriak lagi. Menadakan kita belum mati. Ya, kita masih hidup.

Cerita bagaimana saya menjadi PNS dan berada dalam kondisi yang tidak nyaman sudah pernah saya tulis dan akan saya posting juga nanti. Yup. Setelah melalui perjuangan dan lika-liku hidup akhirnya tibalah saya di kantor yang menjadi impian banyak pencari kerja di negara ini. Tepatnya di Jl. HR. Rasuna Said Kav 4-9 Blok X5. Kantor sebuah kementerian.

Buat saya dan teman-teman saya, bisa masuk kantor ini adalah impian. Gimana nggak, pokoknya semua serba pas. Latar pendidikan saya yang memang kesehatan, berharap jam kerja yang normal (bandingkan dengan teman-teman yang bekerja di pelayanan kesehatan atau industri yang harus di shift), serta kepastian (gak ada lagi yang namanya PHK) :). Wah pokoknya benar-benar nyaman deh.

Meski yah, setelah masuk dan menjadi PNS di eranya Pak Jokowi, eh saya masuk masih era Pak SBY deng. Itu yah gak ada lagi yang namanya PNS santai kayak di pantai. Waktu saya baru masuk di tahun 2009 sih yah, saya masih melihat generasi santai yang begitu. Melihat dengan mata kepala sendiri betapa kayanya negeri ini dari APBN kantor. Hahahahaha. Gak munafik saya melihat hal-hal yang tidak patut alias korupsi juga di kantor.

Tapi yah…itu zaman dahulu kala. Perlahan-lahan negara ini mulai membangun sistem. KPK dibentuk, BPK mulai kerja beneran, pokoknya semua sudah mulai berjalan sebagaimana mestinya karena semua mata masyarakat dan netizen 🙂 tentunya benar-benar mengawasi kami para pengurus negara yang dibayar pakai uang rakyat ini.

Meski saya sadar belum sepenuhnya saya berkontribusi banyak buat negara ini, saya cuma mau mulai dari diri saya, dari hal yang terkecil, dan dari sekarang. Percaya yang namanya hidup setelah mati itu ada. Berbuat hal baik atau jahat sekecil apapun Tuhan akan lihat. Jadi kalau mau memulai hal-hal yang baik dan birokrasi bersih ya mulai dari sekarang, meski penghalangnya tidak sedikit yes. Hahaha. Kembali ke topik tubel yah.

Tugas belajar boleh diberikan kepada PNS yang kalau gak salah sudah dua tahun terhitung sejak menjadi PNS. Mulai dari jenjang S1, S2, sampai S3 kalau memang instansi atau tempat di mana kamu mengabdi membutuhkan.

Oh iyah, ada yang namanya tubel alias tugas belajar dan ibel alias izin belajar. Bedanya tubel dan ibel adalah, kalau tubel kamu sepenuhnya dibiayai oleh negara masih mendapat gaji dan tukin meski tidak boleh ikutan dinas-dinas keluar kantor dengan demikian kamu boleh gak ngantor :). Kalau Ibel alias izin belajar itu cuma dapat izin ajah biasanya harus di luar jam kerja, masih harus masuk kerja dan masih boleh boleh dinas kemana-mana. Jadi ibel itu kayak kuliah sambil kerja dan tubel tugasnya belajar, jadi gak wajib ke kantor. Begitu.

Prosesnya Gimana Kalau Mau Tubel?

Berhubung pengalaman saya ambil tubel dibiayai oleh instansi Kementerian tempat saya bekerja dan bukan badan-badan yang mengadakan beasiswa seperti LPDP atau Bank Dunia misalanya, jadi saya hanya akan share pengalaman saya saja yah… buat yang itu coba di googling pasti banyak deh. Kemudian lagi, tubel saya ini hanya terbatas buat PNS di Kementerian Kesehatan buat Kementerian-kementerian lain ya silahkan di cari mungkin stepnya mirip-mirip. Mungkin lohhh…

Jadi yah beberapa tahun terakhir ini, terus terang saya mulai suntuk banget di kantor. Bosan dengan rutinitas di kantor yang memang agak menggila semenjak Pak Jokowi. Wkwkwk. Lah lagi-lagi salah Pak Jokowi? Nggak… saya mah nge-fans banget sama beliau. Berasa suasana kantor berubah jadi lebih kondusif banget. Suasana kerja, kerja, dan kerjanya itu benar-benar luar biasa.

Suntuknya saya itu yah, kok cuma segini yah yang bisa saya perbuat. Kok bosan yah. Lah terus lo udah dibayarin pakai uang negara, cuma karena anaknya bosanan? Nggak gitu cuy… Adalah dalam diri saya egois untuk mencoba yang namanya keluar di zona nyaman tadi dan pengen banget merasakan yang namanya reward tugas belajar. Toh jurusan yang dituju harus seizin atasan dan sesuai dengan bidang pekerjaan kita. Jadi di sini saya akan mencari ilmu yang kiranya berguna buat pekerjaan saya di kantor. Wong ada syarat setelah menyelesaikan tubel, saya harus mengabdi selama 2N+1 artinya dua tahun masa belajar ditambah satu tahun. Kalau tiba-tiba saya resign gimana? Ya saya harus mengganti biaya tugas belajar saya ke negara tercinta ini.

Terpecut oleh beberapa teman sengkatan yang sudah pada lulus S2 dan teman sebelah kubikel pergi ke Jepang, akhirnya saya bareng teman memutuskan untuk ikutan peruntungan tubel ini. Kenapa peruntungan, ya karena banyak faktor yang harus kami lalui, antara lain :

  1. Harus ada izin pasangan atau orang tua

Yup tentu pasangan jika kamu menikah harus dong tahu kamu mau sekolah lagi dan tidak masuk kantor. Buat yang kepala keluarga misalnya, dipastikan pasangan menerima kalau ketika tubel nanti, pemasukan rekening hanya gaji pokok, dan 50% tunjangan kinerja. Gak ada yang namanya dinas luar kota apalagi  luar negeri misalnya. Tentu akan sedikit berpengaruh ke perekonomian keluarga yah. Hehehehe

2. Harus dengan seizin atasan

Ini point paling penting sih. Dengan atasan kamu mengizinkan kamu ikut tubel, ya mereka harus rela kamu gak ngantor selama beberapa tahun kedepan. Jadi, ya mereka siap kehilangan “partner” atau stafnya dalam bekerja. Ini gak mudah loh. Ada atasan yang egois gak kasih izin karena melihat beban pekerjaan kantor yang banyak misalnya. Buat atasan yang baik mereka sih berpikiran terbuka dong, pingin anak buahnya maju dan berkembang. Itu maksudnya.

Izin atasan gak cuma izin boleh atau nggaknya sih, izin atasan juga masalah jurusan yang kamu ambil harus sesuai dengan kebutuhan organisasi. Misal kamu S1 nya dokter, kerja di Kementerian Kesehatan Direktorat Kesehatan Masyarakat, lalu ujug-ujug kamu pingin ambil S2 Seni Kontemporer misalnya :)) ya kayaknya atasanmu gak akan mengizinkan sih.

3. Mau di dalam atau luar negeri

Nah ini pun penting. Buat yang mau ke luar negeri sih, persiapan kayaknya paling tidak setahun atau bahkan lebih  harus mulai cari-cari beasiswa atau info kampusnya. Kalau mau di dalam negeri macam saya nih persiapan cukuplah enam bulan sampai setahun dari tahun rencana kita buat cari-cari info. Masalah tempat tinggal juga loh. Dipikirin buat yang di luar kota misalnya.

4. Pantengin web penyelenggara tugas belajar

Dalam hal ini kalau saya penyelenggaranya itu Badan Peningkatan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan. Pada umumnya akan dilakukan seleksi tubel dari instansi dulu sebelum seleksi di perguruan tinggi nya. Tapi gak ada salahnya kamu juga buka-buka web universitas yang kamu tuju itu.

Sebelumnya mereka juga akan mengirimkan surat edaran tugas belajar di Bulan November 2016 nah baca baik-baik dan pahami segala persyaratannya ada di situ. Mulai dari seleksi administratif tahap satu dan dua, hingga seleksi akademik. Berikut contoh surat edaran tahun lalu yah. Lengkap di sini. Baca perlahan-lahan dan resapi. Surat Edaran Tugas Belajar Tahun 2017. 

Perhatikan baik-baik batas pengajuan ini itunya. Misal batas akhir up-load dokumen ke web nya kapan. Pastikan semua berkas yang dibutuhkan sudah dipenuhi. Misal surat keterangan sehat dan bebas narkoba  dari rumah sakit pemerintah, surat izin dengan materai, sampai jurusan yang kamu ambil sudah benar-benar sesuai dan mendapat izin atasan. Web nya tubel Kemenkes itu ini : http://tubel.bppsdmk.kemkes.go.id

Pengalaman saya kemarin agak-agak gimana yah berkaitan dengan izin atasan. Untuk sekolah S2 ini, saya mau mengambil agak melenceng sedikit dari ilmu S1 saya. Masih kesehatan, tetapi saya mau ambil yang sifatnya kekinian alias promotif dan preventif. Berbeda dengan ilmu farmasi yang memang sekarang sudah fokus ke pelayanan tetapi masih lebih besar porsi kuratif nya terutama obat. Saya mantab mengambil peminatan Promosi Kesehatan.

Eh, ndilalah, ada di bagian lain yang peminat tubelnya lumayan banyak yaitu empat orang sehingga pimpinan tertinggi di unit saya harus ikut memantau dan memutuskan apa saja jurusan yang diambil. Ternyata saudara-saudara, saya tidak diizinkan mengambil peminatan promosi kesehatan dan dianjurkan atau “dipaksa” mengambil peminatan Kebijakan dan Hukum Kesehatan, mengingat kebutuhan organisasi di unit kerja saya. Ampun  DJ… yah itu Bu Dirjen pelakunya. Sempat bete dan kesel. Tapi ya sudahlah. Mungkin memang sudah jalannya. Kalau saya gak nurut itu Bu Dirjen gak mau tanda tangan izinnya. Ya Allah gini amat yaks. Akhirnya saya menerima keputusannya dan mengambil peminatan Kebijakan dan Hukum Kesehatan. Fuihhh

Setelah dipikir-pikir lagi kenapa nggak yah, justru itu semakin luas dan bisa membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya promotif dan prefentif dan akhirya saya menerima dengan lapang dada dan dewasa. Hahahahaha.

5. Pantengin web universitas tujuan kamu

Kalau sudah upload seleksi administratif instansi, hal yang kamu perhatikan berikutnya adalah persiapan buat masuk ke universitas inceran kamu. Perhatikan kapan tanggal buka pendaftaran, lihatin persyaratannya apa saja. Butuh nilai TOEFL atau nggak, butuh proposal thesis atau nggak, dll. Isinya pelan-pelan yah, pastikan semua benar. Kemudian lihat kapan akan dilakukannya tes tertulis. Soal-soal apa yang kira-kira akan diuji. Kalau UI kemarin alhamdulillah gak perlu TOEFL. Soal yang diujikan ada TPA (Tes Potensi Akademik) dan Bahasa Inggris. Kampus incaran saya Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Kebijakan dan Hukum Kesehatan.

Persiapan saya kemarin sih beli buku-buku tes TPA di Gramedia ajah sama belajar Bahasa Inggrisnya pakai buku Persiapan TOEFL. Terus terang susah jendral. TPA nya itu ada Matematika Dasar yang sudah sekian lama saya gak tegur-tegur dan logikanya yang benar-benar gak nyampe banget. Hihihi. Kalau Bahasa Inggrisnya soal cerita dan topiknya macam-macam. Bagusnya sih sering baca-baca artikel Bahasa Inggris biar kosakata agak banyakan. Hehehehe.

Selesai ujian terus terang saya pesimis dan berharap di gelombang kedua. Oh iyah biasanya ada dua gelombang gitu. Nah kalau gak lulus gelombang pertama, bisa ikut lagi di gelombang kedua. Yes bayar lagi dari awal tentunya yah.

Setelah dinyatakan lulus, perhatikan lagi apa yang harus dilakukan. Meskipun tubel saya dibiayain negara, ternyata belum ada pengumuman lolos tidaknya seleksi administratif di Kementerian. So mau gak mau daripada nama saya terdepak dari sistem Universitas Indonesia, saya rela tabungan saya buat nalangin uang kuliah saya terlebih dahulu. Katanya diganti kok. Jadi ada baiknya, kamu siapin dana kuliah sebesar uang gedung dan satu semester. Buat yang mau pakai surat tunda bayar bisa, tapi harus ke BPPSDM buat minta usratnya kemudian menyerahkan ke bagian akademik kampus.

Setelah melalui itu semua, di sinilah saya. Setelah daftar ulang, siap-siap buat mengisi IRS atau mata kuliah yang harus berebut dosen yang enak katanya. Soalnya kan kita belom nyoba. Alhamdulillah ada yang namanya Pengenalan Sistem Administrasi Fakultas buat yang belom kuliah di UI, ini sangat membantu, yah istilahnya kenalan deh sama Fakultas dan Kampus juga teman-teman satu kelas yang beragam asalnya. Sok akrab juga sama kaka-kakak kelas. Ini sangat membantu buat membagi pengalaman.

Minggu ini kuliah sudah dimulai, bismillah saya bisa selesai tepat waktu dan menjalaninya dengan kuat. Bukannya apa, di UI sejak tahun ini, ada prasyarat yang mengharuskan input tulisan ke Jurnal Internasional juga gencarnya mereka membasmi plagiarisme. Mohon doanya teman-teman. Semoga bisa melalui dua tahun ini. Masa kuliah ini, saya kan off kerja semoga bisa lebih rajin nge-blognya. Meski akan banyak tugas kuliah, tapi berharap bisa rutin nge-blog.  Itung-itung latihan menulis yah, meski gak ilmiah. Setidaknya tangan dan pikiran terbiasa menuangkan ke dalam kata-kata dan membentuk sebuah kalimat panjang. Hahahhaha. Amiiinnn…

Suasana Pengenalan Sistem Akademik Fakultas selama dua hari
Mencoba kompak dala rangka adu “yel-yel” antar peminatan
Alhamdulillah kekompakan terbayar dengan dinobatkan sebagai “yel-yel” terbaik di PSAF Pasca FKM