Hari kedua kami di Surabaya, dan alhamdulillah kerjaan Zaki sudah beres. Jadi kami berencana langsung balik saja ke Jakarta, siang ini langsung chek-out dari Harris. Pagi ini karena lebih santai, Zaki fitness dan saya berjemur di pinggir kolam renang mencari sinar matahari sembari membaca novel saya yang mulai nagih untuk diselesaikan.
Tag: Kuliner
Roadtrip Jakarta-Surabaya (Part 3) Surabaya; Jalan-jalan Kaki dan Kuliner Bebek Kayu Tangan
Berhasil menembus kemacetan Surabaya menjelang senja hari itu, akhirnya kami tiba di Hotel Harris Gubeng. Rencananya kami akan menginap di sini dua malam. Besok Zaki akan ke Gresik untuk urusan kerjaan dan belum tahu juga apakah kerjaan besok bisa beres atau kami memperpanjang waktu singgah kami di Surabaya.
Kenapa pilih Harris, dengan budget di bawah 1 juta, hotel ini menurut saya paling tidak , (sejauh ini) belum pernah mengecewakan. Sudah pernah di beberapa kota seperti Bali dan Malang, selalu berkesan. Makanya saya agak maksa untuk menginap di Harris selama di Surabaya. Letak Haris di tengah kota di Jalan Gubeng. Bersebelahan dengan adiknya, yaitu Hotel Pop. Maaf yah, kali ini karena dibayarin kantor, agak mendingan dikit dong. Gak di Pop lagi. Hehehe.
Tiba di kamar hotel yang untungnya pemandangannya tidak lagi menyeramkan, kami sebenarnya antara lapar dan tidak lapar. Mau cari kulineran di Surabaya, Zaki sudah malas keluar. Mau gojek, takut ribet. Akhirnya kami pilih pesan di hotel atas rekomendasi petugas hotel, kami pilih nasi goreng kampung komplit.
Berhubung tidak terlalu lapar dan katanya komplit dengan sate ayamnya, kami pesan satu porsi untuk dimakan berdua. Biar romantis gitu. Eh padahal mah ngirit. Hehehe. Mahal bok. Kurang lebih 15 menit nasi goreng datang. “Eh kok katanya pedas, ini mah gak pedas ah.” kata Zaki. “Iyah, ini mah standar,” balas saya yang memang selera pedasnya jauh di bawah Zaki. Loh ini kan Surabaya yang terkenal apa-apa pedas. Kok malah gak pedas ya. Ya sudah, meski demikian piring nasi goreng tersebut langsung bersih tak ada sisa. Kami lafaaarrr ternyata yah.
Keesokan paginya, sebelum Zaki berangkat ke Gresik menempatkan diri sarapan. Ini bagian yang paling dinanti kalau menginap di Harris. Sarapannya buanyak macamnya. Puas. Meski demikian, pagi itu saya gak banyak makan. Udah kenyang saja. Efek membiasakan makan sesuai kebutuhan kali ya. Kalau Zaki, eits jangan ditanya. Pagi itu bubur ayam, mie ayam, lontong sayur. Hahahahaha. Katanya capek nyetir kemarin. Bisaaaaa… ajahhhh…

Zaki berangkat ke Gresik nyewa mobil rental Blue Bird yang memang ada di hotel. Katanya lagi dia capek. “Kalau disetirin kan bisa tidur, enak. Kayak kamu.” begitu katanya.
Zaki berangkat, saya buka laptop dan berencana mau nge-blog gitu. Kan enak kamar hotelnya. Alih-alih nge-blog, pagi hingga siang saya malah sibuk memindahkan foto-foto dari hp ke external HD. Kalau bosan ya sesekali saya membaca novel Crazy Rich Asians yang sedang saya baca.
Menjelang tengah hari, usai Zuhur saya berencana keluar hotel untuk mencari makan siang sekalian mencari buah tangan untuk berkunjung ke sepupunya Zaki yang tinggal di Surabaya nanti malam. sekalian silaturahmi kan yah.
Berhubung ini hotel di tengah kota, saya putuskan untuk ke mall saja. Padahal yah, hotel menyediakan shuttle bus untuk menuju mall tersebut, dasarnya saya gak disiplin ya telat aja dong. Ya udah saya memilih jalan kaki saja.
Tauk gak apa yang pikirkan ketika saya memilih jalan kaki siang itu. Loh kalau lagi di Singapura atau Bangkok saja kok saya bisa jalan berkilo-kilo meter, kenapa ini di Surabaya yang kotanya gak kalah bagus kok saya malas. Meski ditawari taksi, sama petugas hotel, saya kekeuh mau jalan. Buka google maps dan jalan kaki. Alhamdulillah meski awalnya sulit menggunakan google maps ya tapi lumayanlah lama-lama saya terbiasa juga. Kalau bingung kan nanya bisa. Toh bahasa yang digunakan masih sama. Bahasa Indonesia. Ye kannn…
Menenangkan berjalan kaki di Surabaya. Tamannya bagus, sangat terawat. Tanaman tumbuh subur, dengan bunga-bunga. Meski Surabaya agak panas, berada di dekat taman udara siang itu sedikit sejuk karena tiupan angin dan mata jadi hijau banget.


Entah karena saya yang dudul atau gimana, akhirnya saya tiba di mall yang bukan tujuan saya. Iyah, awalnya tuh saya mau ke Surabaya City Walk, eh malah belok ke Surabaya Plaza. Gara-gara mungkin saya salah baca maps. Sudah gak papah, kan sama-sama mall. Menghibur diri dan berusaha menerima kebodohan.
Gerai makanan di mall ya tentu saja sama persis dengan yang ada di Jakarta. Makanya saya memilih mencari foodcourt biar agak beda. Pilihan jatuh kepada nasi goreng Jancuk, yang katanya fenominil. Meski begitu saya pilih yang gak pedes. Nasinya banyak banget dan rasanya gak sefoneminil itu ternyata. Biasa ajah, ada potongan ikan asin kecil-kecil yang asinnya mantab. Harganya cukup mahal buat ukuran nasi goreng menurut saya. Entah kenapa saya selalu membandingkan setiap nasi goreng yang saya makan, dengan nasi goreng warung tenda dekat rumah. Sudah langganan, karena rasanya enak, dan murah. Enak versi saya, bumbu terasa, manis kecapnya cukup, nasi tidak terlalu ambyar dan sayurnya banyak. Sebenernya saya gak habis, tapi sayang. Pelan-pelan saya makan sambil membawa novel saya. Akhirnya sisa dikit. Yah maaf ya.

Selesai makan, saya putar-putar ke pusat perbelanjaan di situ. Dapat jaket lucu dan cardigan untuk dua orang keponakan. Dari situ ternyata Zaki menelepon dan bilang sudah di hotel. “Buruan pulang!” seperti biasa gaya otoriternya sebagai suami datang. Saya kembali ke hotel dengan ojek online dan hanya 5000 pemirsa. Ya ampun padahal lumayan lo muternya.
Malamnya kami berkunjung ke rumah sepupu Zaki yang di Surabaya. Dari situ kami meutuskan makan malam. Saran dari sepupu Zaki, namanya Dek Beni enaknya makan sambal belut. Kami meluncur ke sana. Eh belom rezeki, warung belut tutup. Kami menuju tujuan berikutnya, Bebek Kayu Tangan.
Rumah Makan Bebek Kayu Tangan sederhana. Bangunan lama tidak ada polesan kekinian sama sekali. Sangat otentik khas Surabaya. Buat yang gak suka bebek, ada juga ayam kampung. Saya pesan ayam kampung bakar bumbu rujak dan Zaki, bebek bakar bumbu rujak. Katanya itu yang khas.
Perlu diingatkan, kalau lagi lapar berat, pikir-pikir makan di sini. Agak lama gitu soalnya. Meski saat itu sedang tidak terlalu ramai pengunjung. Ketika hidangan tersaji langsung saja kami serbu. Kesetiaan kami menunggu berbuah. Ya ampun itu enak banget. Bumbu rujaknya manis, pedas, asam, bercampur jadi satu. Bubunya meresap hingga ke dagingnya. Meski untuk saya pedas, tapi itu enak sekali. Semuanya pas. Pedas manis dan asam, selera saya banget.
Di belakang meja kasir duduk seorang nenek yang usianya mungkin sudah 70 tahun. Selesai membayar makanan yang kami makan, saya sedikit mengobrol dengan beliau dan asistennya. Bukannya apa, sang asisten kadang memebri kode ke saya kalau si nenek sudah agak kurang pendengaran. Pantas kadang saya tanya apa, beliau jawab apa. Ya maklum lah ya.
Jadi hasil pembicaraan saya dengan mereka ketika saya usul agar membuka cabang di Jakarta, sebenarnya sudah pernah mereka coba. Di daerah Matraman. Respon pelanggan cukup bagus, namun entah kenapa harga sewa makin mencekik. Mereka tidak sanggup lagi dan akhirnya sekarang hanya menjalankan satu saja di Surabaya. Sudah berjualan sejak tahun 1970-an sejak anak-anak si nenek masih kecil. Alhamdulillah masih laris sampai sekarang.

Malam itu hari saya di Surabaya ditutup dengan kenangan pedas, asam, dan manis tentang sebuah rasa. Ya rasa, bumbu rujak yang bikin kangen. Pokoknya kalau ke Surabaya. Harus coba lagi. Begitu kata saya dalam hati, dilanjutkan dengan untung malam itu warung belut tutup. Hahahaha…

Road Trip Jakarta-Surabaya 1 (Jakarta-Semarang)
Memasuki minggu-minggu terakhir libur kuliah akan segera usai. Nah sebelum waktu berlalu begitu saja, mari kita stock tulisan banyak-banyak. Mengingat semester ini sepertinya akan sangat menggila. Hahahahaha.
Sebenarnya ini adalah perjalanan dinas suami yang tertunda, tapi alhamdulillah saya masih libur jadi masih bisa ikutan. Berhubung waktu yang luang, kami memutuskan untuk mencoba membawa kendaraan sendiri. Waktu itu pernah juga sih, kami bawa mobil sampai Yogyakarta yang kemudian ada trip Semarang dan Cirebon. Udah ditulis di sini belum yah ?
Eh udah nih ternyata :
Menjelajah Wisata di Semarang dan Sekitarnya
Hahaha yang Cirebon malah belum. Nantilah ya, kalau mood. Hehehe.
Jadi kami berangkat Senin 15 Januari 2017 jam 11:00 dari Bekasi. Kemudian transit di KM 39 untuk sholat Zuhur. Perjalanan kami banyak sekali transitnya sih, maklum faktor usia, jadi sebentar-sebentar mau ke toilet. Keberuntungan menghinggapi ketika kami bermaksud untuk ke toilet di daerah Tegal. Saya yang lupa belum menjamak sholat merasa senang bisa mampir di SPBU Muri Tegal atau SPBU Muri Shinta Irawaty.

Mengapa dinamakana SPBU Muri? Ya karena mendapat rekor dari Museum Rekor Indonesia sebagai SPBU dengan toilet terbanyak, yaitu 67+40 toilet bersih. Beneran banyak banget, meski agak bikin gimana gitu, karena sore itu pengunjung sepi. Mungkin ramai kalau musim mudik lebaran atau liburan panjang sangat bermanfaat. Barisan pintu kamar mandi yang kosong siang itu seperti sebuah misteri buat saya yang emang orangnya rada penakut. Untung siang dan terang. Hehehehe.
Tidak hanya toilet bersih, di SPBU itu dilengkapi ruang istirahat lengkap dengan ranjang yang disewakan 40 ribu per 8 jam, fasilitas pijat, tempat makan, sampai kolam renang. Buat yang membawa anak-anak yang sudah mulai bete dalam perjalanan bisalah buat hiburan nyemplung ke kolam renang dulu.
Puas berkeliling SPBU ini, kami melanjutkan perjalanan dengan target akan bermalam di Semarang sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke Surabaya.
Kami berhenti di SPBU untuk Sholat Maghrib di daerah Kendal sebelum memasuki Semarang. Pokoknya target tidak mau terlalu malam melewati daerah Alas Roban yang sempat terkenal agak “menyeramkan” buat pengemudi yang belum terbiasa. Alhamdulillah aman-aman, meski suasana gelap ketika melewati hutan jati tersebut ditemani rintik hujan yang lumayan lebat.
Oh iyah, kok gak makan siang? Di SPBU KM 39, kami beli siomay dan saya membawa bekal nasi, lauk ayam, dan capcay sisa makan di rumah semalam. Ketika matahari terbenam, perut mulai keroncongan, kami memutuskan makan malam di daerah Gringsing, Kendal di rumah makan Nyoto Roso. Sepanjang daerah Gringsing sepertinya terkenal dengan rumah makan yang menyajikan makanan khas berupa ayam kampung goreng.
Malam itu, kami memesan ayam kampung goreng, sayur asam bening yang beningnya seperti sayur bening. Isinya hanya labu siam, kacang panjang dan tomat, bening. Sekali lagi bening pemirsa. Saya agak shock lihat sayur asem seperti sayur bening soalnya. Hahaha. Zaki seperti membutuhkan tenaga tambahan, juga memesan sop ceker ayam kampung.
Selesai makan dan melihat-lihat ternyata rumah makan ini sudah cukup lama. Untuk meyakinkan pelanggan ada sertifikat halal dari pihak yang berwenang yang diberikan kepada rumah makan tersebut.
Di dinding juga terdapat foto saat rumah makan tersebut baru dirintis sekitaa dua puluh lima tahun yang lalu. Berawal dari sebuah rumah kecil, hingga menjadi rumah makan yang besar dengan area meja kursi dan lesehan yang bisa menampung seratus pengunjung.
Bagaimana rasanya? Enak. Sambal terasinya juara. Pedas dan khas terasi. Ayam gorengnya pun lezat. Meskipun ukurannya mini seperti ayam kampung pada umumnya, tapi bumbunya pas asinnya. Kesegaran sayur asem bening pun begitu menyegarkan hangat dan segar di tengorokkan, menghangatkan suasana dingin malam itu. Sop cekernya pun enak, gurih dan pas rasanya.
Menu yang kami pesan di RM Nyoto Roso
Kami kemudian booking hotel di Semarang, dan memutuskan untuk menginap di Hotel Pop Semarang. Kira-kira jam 20:30 Zaki membangunkan saya yang pulas tertidur setelah kekenyangan. “Bangun, bangun, sampai di hotel nih.” Dengan setengah sadar, saya membuka mata dan mengumpulkan nyawa. Berpikir, apa saja yang akan kami bawa ke dalam, mengingat bawaan kami yang banyak. Iyah, saya bawa buah-buahan sisa di kulkas, sampai blender buat nge-jus. Kami memutuskan pesan hotel dengan harga tanpa sarapan. Hehehehe. Kenapa? Karena kami sudah pernah mencoba sarapan di hotel Pop Yogya dan yakin, sarapan di warung makan pinggir jalan sekalipun di Semarang jauh lebih enak.
Memasuki lobi hotel, saya cukup senang dengan design interior loby hotel tersebut. Anak muda sekali, kekinian sekali, instagenic sekali, pokoknya baguslah. Agak mengejutkan lagi, ternyata hotel tersebut baru dibuka tiga hari yang lalu sebelum kami menginap. Wow, seru nih. Hotel baru, asyik, pasti semuanya bagus. Gumam saya dalam hati.
Kami di antar ke kamar dibantu Pak Satpam. Kok Pak Satpam? Iya, mungkin karena hotel baru yah, bell boy-nya belum ada. Jadilah Pak Satpam yang baik hati mengantar kami hingga ke kamar. Sambil membantu mebuka pintu kamar, Pak Satpam berucap, “Selamat istirahat Bapak dan Ibu, silahkan, pemandangan hotel langsung menghadap ke Lawang Sewu?” sambil tersenyum. Kemudian saya, “What??? Syerem dong.” Langsung bergegas ke jendela dan membuka tirai, “Ohmoooo…” saya dan Zaki sontak tertawa terbahak-bahak.

Untuk hotelnya sendiri bagus kok, so jangan khawatir. Pagi-pagi pemandangannya bagus dan pelayanannya memuaskan.
Baiklah sampai di sini cerita perjalanan kami, besok kami akan lanjut ke Surabaya dan akan saya ceritakan di post berikutnya.
Nostalgia Masakan Simbah, Mencicipi Sayur Mangut (kuliner khas Semarang)
Pagi itu kami tiba di Klenteng Sam Poo Kong jam 8:30. Bukannya bergegas masuk, tujuan kami adalah mencari warung makan. Iyah, berhubung hotel budget dan promo pula, kami tidak dapat sarapan. Kami mengganjal perut dengan salak dan jeruk hasil bawaan dari Hotel Jambuluwuk di Yogya kemarin. Hihihi. Gak masalah.
Di depan gerbang sebelah kanan Klenteng Sam Poo Kong banyak penjaja minuman dingin. Di belakangnya ternyata ada beberapa warung makan. Kami memilih warung yang waktu itu ada pengunjungnya. Saya melihat ada nasi pecel. Lumayanlah biar sehat meski lagi liburan. Setelah kami duduk, si Ibu warung menawarkan kami untuk mencoba sayur mangut khas Semarang yang baru saja matang. Warung makan yang sederhana berikut dapurnya dimana saya bisa melihat si Ibu sedang mengaduk-ngaduk sayur yang baru mendidih itu.


“Sayur mangut apa itu Bu?” tanya saya. “Ini mbak, sayur kuah santan, ada ikan manyung. Enak mbak, suegerrr, pedes.” Jawab si Ibu. Nah saya makin bingung. Apapula itu ikan manyung. Saya kembali bertanya, dan si Ibu menjelaskan, kalau Ikan Manyung itu ikan pari yang diasapi, lalu di sayur. Namanya sayur mangut. Apaaa??? Ikan pari? Pari yang lebar itu? Pari manta yang di laut lepas? Bayangan ikan pari menari-nari di otak saya. Saya menjawab dengan ragu. “Euhm… saya makan nasi pecel aja bu, tapi boleh gak diguyur kuah sayurnya dan ikannya sedikit saja. Pengen coba Bu.”

Yess. Akhirnya saya mencoba sayur mangut. Benar saja, sayur mangut berpadu dengan nasi pecel, hasilnya pedesnya dobel. Ditambah cuaca Semarang yang lumayan panas, membuat keringat saya bercucuran.

Menikmati sayur mangut, mengingatkan saya akan masakan simbah di kampung. Masakan khas Jawa. Kalau simbah saya, masak ala sayur mangut dengan isi belut yang digoreng terlebih dahulu. Kuah santan yang tidak begitu kental, rasa gurih santan berpadu rempah dan potongan cabai rawit merah yang bikin melek karena pdesnya. Belum lagi aroma ikan yang diasapi. Itu khas makanan Jawa banget. Apalagi kalau dimasak menggunakan kayu bakar. Seperti masakan simbah saya dulu.
Saya jadi teringat simbah saya yang sudah lama meninggal. Meski begitu, rasa masakannya masih melekat di indra pengecap saya. Luar biasa yah masakan simbah. Aduh saya jadi kangen mbah putri. Pagi itu saya makan dengan bahagia campur terharu.
Di warung makan sederhana itu, Bu Kelik tidak sendiri ada yang mebantu mencuci piring. Namanya Bu Mia (kalau gak salah, padahal sudah kenalan, tapi gak dicatet dan seperti ini selalu terulang. Maaf ya), beliau menawarkan kami mau minum apa. Cekatan Bu Mia menyiapkan pesanan minuman kami.
Zaki memilih hanya makan nasi pecel ditemani empat buah tahu bakso. Memang Zaki kurang suka masakan olehan ikan begitu. Hanya ikan tongkol balado warung Padang yang dia suka. Entahlah. Bumbu pecel nya enak, pedas manis.

Selesai sarapan yang buat saya lumayan berat itu, saya masih penasaran melihat akan masak apalagi si Ibu. Si Ibu mau masak daun papaya ternyata. Si Ibu menjelaskan kalau siang nanti menu warungnya akan lebih bervariasi. Ada kerang, kikil, oseng daun papaya, dan masih banyak lagi. Total harga makanan yang harus kami bayar hanya dua puluh satu ribu rupiah. Nasi pecel enam ribu seporsi. Sayur mangut dengan ikan hanya tiga ribu. Tahu bakso sepotong seribu. Ya ampun, murah banget yah. Betah banget nih di Semarang kalau begini terus.


Sebelum meninggalkan warung saya minta izin untuk mengambil foto Bu Kelik dan Ibu yang bantu-bantu cuci piring dan melayani pembeli. Eh, mereka senang banget. Aduh saya jadi merasa punya hutang untuk memberi hasil jepretan saya ini ke beliau. Semoga saya diizinkan lagi ke Semarang ya bu, dan bisa mampir ke warung Ibu lagi.
Yogya-Jakarta Lintas Pantura (Part 1 : Yogya-Klaten)
Aduh, saya malu sama para blogger yang patuh sama janjinya mau nge-post rajin. Apalah saya ini yang hanya bisa janji tapi susah untuk menepati. Hampir sebulan nih vakum gak nge-post. Tapi tnang meski gak nge-post, tapi alhamdulillah masih nulis di draft. Malesnya masukin foto dan ngedit itu yah. Hahahaha. Kali ini saya mau menceritakan perjalanan saya dari Yogya menuju Jakarta mampir ke Klaten. Kemudian menyempatkan main-main ke Semarang dan Cirebon.
Waktunya bertepatan ketika saya ada tugas ke Yogyakarta dalam rangka menghadiri Pertemuan Ilmiah Tahunan yang diadakan oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Suami yang kerja di bagian marketing pun mengatur waktu, supaya punya alasan untuk menengok customer di Yogya. Saya pun berangkat lebih dulu ke Yogya dengan pesawat. Suami mengendarai mobil ke Yogya. Wow suatu prestasi buat suami, mengingat rute yang paling jauh sebelumnya adalah Bandung. Tugas kantor saya dan suami selesai, suami jemput dan dimulailah perjalanan darat kami dari Yogya menuju Jakarta.
Kami sebenarnya terinpirasi dari Komik karya Benny Rahmadi yang berjudul Tiga Manula jalan-jalan ke Pantura. Sebenarnya kami sudah pernah menyusuri pantura beberapa kali dalam rangka mudik Lebaran menuju kampung halaman suami di Klaten. Dalam komik tersebut digambarkan keseruan yang dialami tiga manula selama jalan-jalan ke Pantura. Kami pun tertantang untuk melakukan napak tilas jalur pantura. Ceileh napak tilas.
Bedanya, kali ini kami ingin lebih meresapi perjalanannya. Bawa mobil, nyetir sendiri, melewati kota-kota di pantai utara Jawa, singgah di tempat-tempat wisata yang belum pernah kami kunjungi ataupun sekedar makan di pinggir jalan. Pokoknya maunya perjalanan yang santai dengan sejuta makna tentunya.
Berhubung yang menyetir mobil hanya suami seorang, dan belajar mengendarai mobil hanya selalu menjadi wacana buat saya. Hormon adrenalin saya sepetinya selalu berada di titik terendah dan sepertinya saya tidak berniat untuk meningkatkan kadarnya. Pengaruh umur kah? Terserah. Hahahaha. Pokoknya saya belom berani buat menyetir mobil. Titik.
Ngapain aja kami di Yogya? Hahaha buat kami yang hampir setiap tahun ke Yogya, jadinya kali ini kami hanya akan menengok adik-adik di Yogya, kulineran, dan jalan-jalan dekat hotel saja.
Kamis menjelang maghrib kami jemput Nida, adik saya yang lagi break koas dan mau PTT. Kami janjian untuk makan Seafood di restoran yang lagi hits di Yogya dengan adik kami yang sedang menimba ilmu di Universitas Islam Indonesia.
1. Makan Seafood Kekinian di Jakal

Hits atau tidaknya suatu tempat bisa dilihat dari usia pengunjungnya. Kami berasa paling om-om dan tante-tante gitu. Kalau saya sih pasti masih masuk banget untuk masuk kategori anak kuliahan yah. Hehehe. Rata-rata mereka datang ada yang berpasangan, ada juga yang segerombolan seperti sedang merayakan ulang tahun. Belom lagi kehebohan yang mereka timbulkan. Teriakan-teriakan ala gadis imut dan manja sesekali terdengar memekik telinga. Bayangin sendiri deh ya gimana.
Kira-kira dua puluh menit, pesanan kami akhirya datang. Untuk makan kami disediakan alas dengan kertas buram, tettapi agak tebal, alat bantu potong kepiting, dan celemek yang bisa dibilang bau macam kembang tujuh rupa tapi kembangnya bau eek ayam. Hahahaha. Pokoknya baunya gak enak banget deh. Daripada nanti itu bau berpindah ke baju, kami memilih untuk tidak memakainya.Lebih memilih berhati-hati lebih saja.
Rasa sajian kepiting yang kami pilih adalah kepiting saus padang. Tidak hanya kepiting, kami memilih paket. Paket tersebut berisi kepiting, udang, kerang, dan jagung rebus. Saya yang memang tidak terlalu suka kepiting karena males sama cangkangnya, memilih udang dan kerang. Rasanya biasa aja sih buat saya. Bumbunya kurang berasa. Level 3 dari yang tertinggi 4 saja kurang pedas buat kami. Bumbu kurang menyerap, yah nilainya enam deh. Tapi harganya sesuai kantong mahasiswa sih. Murah. Paket lengkap hanya dua ratus ribuan.
Sangat disayangkan lagi, tempat sholatnya sangat alakadaranya sekali. Seperti kamar tidur karyawan warung yang disulap jadi mushola dadakan. Bau khas kamar anak cowok. Mukenanya juga khas mukena tempat umum dengan tingkat kebersihan 2 dari 5. Maaf. Itu saja sudah mengurangi nafsu makan saya malam itu. Tapi ya karena lapar, udah ajalah ya kita makan.
Ketika hidangan belum tersaji, adik saya Nida bermaksud mengajak kami ke tempat hits berikutnya di Yogya. Es krim gelato. Eh Dek Naufal mau les Bahasa Inggris, jadilah kami putuskan bubar saja setelah makan. Kami pun balik ke hotel tempat suami menginap, di Jambuluwuk. Kapan-kapan deh ya saya tulis di blog reviewnya. Kapan yah? hehehe.
2. Jalan-jalan tanpa Tujuan di Malioboro
Pagi-pagi saya memaksa suami saya jalan-jalan ke Malioboro. Tepatnya sih ke Pasar Beringharjo. Pengen tahu ajah pagi-pagi itu gimana penampakannya. Sebelumnya mampir dulu ke restoran, siapa tauk sarapan sudah siap. Eh tapi, belum. Jadilah kami langsung cus ke Malioboro. Awalnya saya maksa ke Malioboro berjalan kaki, tapi dengan alasan jauh saya mengalah. Kami akhirnya naik mobil. Mau naik becak dari depan Hotel Jambuluwuk tempat kami menginap 50.000. Ups, lumayan yah.

Di sepanjang jalan Malioboro sekarang sudah tidak boleh parkir. Parkir tersedia di dalam kawasan Benteng Vrederburg. Malioboro pagi itu masih sepi. Hanya ada beberapa pedagang asongan tas batik yang masih duduk-duduk santai menungu calon pembeli. Beberapa penjaja pecel dan gudeg sudah ramai diserbu mereka yang mencari sarapan. Ealah, apa itu, ternyata Pasar Beringharjo pun pagarnya masih tertutup dan sedang di pel. Hihihihi. Mari kita bantu si Bapak ngepel aja yuk. Tentu saja hal itu membuat si Zaki senengnya bukan main. Apalagi kalau bukan dengan begitu peluang saya belanja lenyap. Beuh, puas deh.


Lelah menyusuri Malioboro yang masih sepi, perut minta diisi. Kami memutuskan untuk sarapan di hotel aja. Gak mau rugi kan. Tapi ternyata, ada acara senam pagi bersama yang diselenggarakan sebuah komunitas. Untuk itu mereka juga menutup akses jalan kami pulang. Oke baiklah. Rejekinya bakul gudeg deh, akhirnya kami menikmati seporsi gudeg di pelataran Beringharjo.
Selesai makan, kami memilih menghampiri acara senam pagi tersebut ke arah Monumen Titik Nol Kilometer. Pesertanya cukup banyak dan ramai. Warna-warna sponsor mewarnai kaus yang dikenakan, goody bag, dan stand-stand ikut meramaikan acara senam bersama tersebut. Alih-alih ikut senam, kami memilih duduk-duduk cantik di bangku di sepanjang trotoar nol kilometer. Memperhatikan betapa semangatnya si Bapak yang berdiri paling depan mengikuti gerakan sang instruktur senam kenamaan, Lisa Natalia. (Buat yang gak tauk Lisa Natalia, googling aja ya. Ketauan deh zaman kita berbeda) 🙂

Memperhatikan lalu lintas Yogya pagi hari yang mulai ramai dengan mereka aktivitas pagi. Seperti berangkat kerja atau sekolah. Menikmati bangunan-bangunan tua seperti Kantor Pos, Gedung Bank Indonesia,dan Gedung Bank Negara Indonesia.Sempat mampir ke kantor pos, maksud hati mau mengirimkan kartu pos. Eh kok yah gak ada yang jual kartu pos yah. Ya sudah, batal deh.
Jam sembilan tepat akhirnya acara senam bersama selesai. Horeee. Kami pun segera kembali ke hotel. Bersih-bersih lalu chek-out deh. Lanjut ke Klaten.
4. Sholat Jumat di Mesjid Raya Klaten dan Silturamhmi
Sebelum ke Klaten, kami menyempatkan untuk mampir membeli titipan Bakpia Kurnia Sari terdekat. Harus merek Kurnia Sari? Iyah harus. Rasanya lebih lembut dan lumer di mulut. Cobain deh. Perjalanan Yogya – Klaten memakan waktu kurang lebih dua jam. Berhubung hari itu hari Jumat, kami memutuskan mengunjungi Mesjid Raya Klaten yang baru untuk sholat Jumat. Bangunan tersebut berdiri di atas tanah yang sebelumnya adalah terminal. Terminal dipindah, dan berubah menjadi mesjid kebanggan warga Klaten.
Di daerah Jawa Tengah, memang tidak aneh kalau wanita ikutan sholat Jumat. Jadilah saya waktu itu bergabung untuk sholat Jumat juga. Daripada bengong panas terik menunggu. Iya, itu sholat Jumat pertama saya selama saya bisa mengerjakan sholat. Hehehe.

Pengalaman menarik yang saya lihat selain kemegahan mesjid tersebut adalah jemaah anak-anak di sana. Mesjid raya yang terdiri dari tiga lantai, dilengkapi dengan lift. Nah, lift ini ternyata menjadi objek menarik buat anak-anak usia 6-10 tahun itu. Selesai sholat, mereka berebut untuk turun melalui lift. Anak-anak memang selalu punya cara untuk bahagia. Apapun dan dimananpun mereka berada. Raut wajahnya ituloh benar-benar bahagia. Makanya biar gak stres kadang kita harus mempunya kacamata seperti mereka.


Sholat Jumat selesai, mengagumi Mesjid Raya selesai. Kami pun ke tujuan utama kami ke Klaten. Ke rumah Simbah Putri satu-satunya yang kami miliki. Iyah, kami sengaja gak bilang-bilang. Kejutan ceritanya. Eh, tiba di rumah Simbah, Mbahnya lagi menikmati angin sepoi-sepoi di teras rumah dengan mata terpejam. Wah, Simbah tertidur pulas sepertinya. Di teras rumah Simbah, meski siang terik, persis di depannya ada pohon mangga yang cukup meneduhkan halaman rumah. Belum lagi tanaman bunga dalam pot dan hamparan sawah didepannya. Siang itu angin pun bertiup seperti meninabobokan. Udara begitu sejuk tanpa perlu kipas angin apalagi air conditioner. Bayangan saya malah menambahkan dengan buku digenggaman, ah lima menit saja mungkin saya terlelap.

Pelan-pelan kami membangunkan Simbah. Agak kaget sepertinya beliau melihat kedatangan cucunya ini. Bukan hari libur atau ada perayaan apa seperti kami biasa mengunjungi rumah Simbah. Kurang lebih tiga puluh menit di rumah Simbah dan setelah menghabiskan segelas teh manis buatan Bulek, kami mohon pamit. Berkah silaturahmi kami dapat ketika kami dibawakan kira-kira sepuluh liter beras oleh Bulek Rukh. Beras bukan sembarang beras. Beras yang ditanam oleh Om Sayid tanpa pupuk kimia dan memiliki aroma khas yang wangi pandan. Lumayanlah ya… Hemat gak beli beras dua bulan. Hihihi. Perjalanan kami masih panjang, bersambung di posting-an berikutnya ya.
Makanan Khas Arab yang Yummy (Worktrip Arab Saudi Part 2)
Setelah bagian 1 cerita worktrip ke Arab kemarin perjuangan meraih buku kuning, kali ini saya mau cerita tentang makanan. Hahaha. Maaf lah yah, masih gak jauh-jauh dari makanan. Belom yang berat-berat. Habis gimana, kita kan hidup butuh makan. Jadi, daripada yang berat-berat, bahas makanan memang lebih enak. Ngeles ajah.
Alhamdulillah, teman-teman worktrip saya kali, ini sudah semuanya pernah ke Arab. Bahkan gak cuma yang sepuluh hari sebagian besar sudah pernah tinggal di Arab selama 3 bulan sebagai TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia). So, mereka udah tahu banget makanan apa saja yang bikin kangen kalau lagi di Arab Saudi.
1.Nasi Mandhi/ Nasi Bukhari /Hadramaut
Sebagai orang asia dan Indonesia sejati, tentu saja kami gak bisa jauh-jauh dari yang namanya nasi. Buat kami, nasi adalah makanan wajib. Kalau belum makan nasi, sepertinya kami belum makan. Jadilah pilihan pertama kami adalah nasi mandhi. Nasi mandhi disini mungkin mirip-mirip nasi briyani atau nasi kebuli.
Nasi mandhi atau biasa disebut hadramaut. Hadramaut sendiri sebenarnya nama daerah di Yaman dimana konon katanya asal muasal makanan itu.

Nasi mandhi dan nasi bukhari adalah nasi yang diolah dengan diberikan bumbu-bumbu khas Timur Tengah seperti kayumanis, kapulaga, pala, yang aromanya cukup kuat. Sajian nasi mandhi biasanya didampingi daging kambing yang dimasak diungkep ataupun ayam panggang atau roasted chicken. Ada juga bawang bombay, dan cabai hijau besar yang rasanya gak pedas sama sekali. Nah, disinilah sambal terasi sachet sangat bermanfaat. Jadinya rasanya gak beda jauh sama makan pecel ayam di Indonesia. Enakk… apalagi ditambah ikan saluang (makanan khas Banjarmasin), bawang goreng, dan kerupuk.

Makan nasi mandhi memang seru. Penjualnya selalu menyediakan plastik untuk alas makan. DImakannya bareng-bareng. Seru! Sesekali rebutan daging atau sambel.
Satu porsi nasi mandhi buat kami para wanita bisa dimakan bertiga sampai berempat. Maklum porsi Arab itu memang jumbo. Kami sering beli berlebihan, tapi karena nasi ini gak terlalu pulen (apayah bahasa Indonesianya pulen?) jadi masih kami bisa makan untuk sarapan keesokan harinya. Hemat kan jadinya? Hehehehehe.
2. Ayam Goreng Tepung Al Baik
Ayam goreng tepung ala Arab itu berbeda dengan yang ada di Indonesia. Restoran siap saji asal Kolonel asal Amerika itu ada sih, tapi gak banyak. Hanya ada di pusat-pusat kota. Nah yang sangat masif itu, alias hampir di setiap sudut ada, mereknya AlBaik. Perbedaannya resto cepat aji di Arab dan di Indonesia adalah, mereka membedakan tempat antrian, gak ada nasi, sausnya hanya saus tomat, dan ada saus bawang putih.
Pengganti nasinya ada kentang goreng ataupun roti burger. Ada juga salad isinya wortel dan letuce. Oh iyah ukuran ayam di sana lebih besar-besar. Dua kali lipat dengan ukuran di Indonesia tetapi ayamnya kesat dan gak ada darahnya gitu. Ada juga nugget ayam dan ikan. Menariknya nugget di Arab itu, seperti potongan daging ayam utuh, bukan ayam yang diolah seperti di Indonesia, lebih mantap. Untuk rasa lebih spicy dan bumbunya itu meresap sampai ke dalam. Aduh sambil ngetik ini, jadi nelan ludah sendiri.

AlBaik selalu ramai menjelang waktu makan. Di salah satu outlet AlBaik di Jeddah, pembeli pada umumnya pekerja bangunan asal India yang karena harganya tergolong murah dan banyak. Satu porsi ayam (isi 2-3) dan kentang dihargai kurang lebih 13 real.
Seperti di Indonesia, kami gak bosan-bosan makan ayam tepung ini. Sampai-sampai, karena kami sibuk belanja, teman-teman saya sampai minta tolong supir untuk dibelikan paket Albaik untuk oleh-oleh ke Indonesia. Wow banget kan? Eh ternyata, di bandara ada outletnya.
3. Shawarma

Orang Indonesia pada umumnya mengenal shawarma dengan sebutan kebab. Shawarma bisa dibilang sandwich-nya orang Timur Tengah. Roti tipis berbentuk bulat diisi dengan daging kambing atau ayam panggang bersama sayuran seperti bawang bombay dan timun. Lucunya, di sana penjualnya ada yang menyediakan kentang goreng sebagai teman makannya. Kebayang gak sih orang Arab itu makannya hebat. Hahahaha.
Ada cerita lucu waktu beli shawarma yang persis di depan Kantor BPHI Mekkah. Mereka juga menjual jus. Ketika saya pesan jus tomat (soalnya saya lihat banyak tomat dipajang). Mereka malah tertawa dan bilang gak ada jus tomat. Tomat dimaksud ternyata untuk membuat sambal. Yaelah. Orang tinggal blend ajah kok susah sih :))).
Kemudian teman saya pesan jus melon. Ketika jadi, dikasih jus semangka (watermelon), Padahal maksud teman saya, melon itu yang warnanya hijau. Tapi ya udah miskom, eh ternyata semangka di sana enak banget, lebih manis, dan buahnya itu dua kali lipat besarnya dibandingkan semangka Indonesia.
4. Ma’sub

Ma’sub ini bukan makanan berat. Seperti cemilan atau kue khas Arab. Terbuat dari pisang kukus yang ditumbuk, lalu dicampur susu kental manis, gula, cream cheese dan dengan taburan keju chedar yang melimpah. Rasanya satu. Manis dan manis sekali. Tapi enak, apalagi kalau didinginkan di kulkas. Lebih padat dan perpaduan pisang dengan keju itu memang luar biasa enaknya. Harganya 10 real atau sekitar 35 ribu.
Kemarin, saya coba buat ini di rumah. Tapi gak berhasil rasanya belum pas, entah kurang apa. Soalnya googling resepnya pun belum ada. Hehehehe.
5. Martabak Mose

Martabak di Arab itu berbeda dengan di Indonesia. Martabak di sana, roti atau adonan martabak manisnya seperti martabak telur. Tipis dan dengan isian pisang. Harganya 9 real. Gak tauk juga sih saya isiannya apa ada variasi yang lain. Sayangnya, waktu di sana, kami para wanita gak bebas jalan-jalan. Jadi, bagian membeli makan ya selalu tugas teman laki-laki. Jadinya saya gak lihat proses pembuatan. Mau ikut, gak boleh kalau bukan muhrim. Aduh repot yah… Oh iyah, di Arab sana belom ada gojek ataupun delivery, jadi mau makan apa ya harus cari keluar. Itulah yang bikin kangen sama Indonesia, kalau lapar gak bingung dan gak harus nyusahin orang, tinggal pake aplikasi.
6. Tamis

Tamis adalah makanan yang sering disajikan untuk sarapan pagi di Arab. Harganya murah, hanya 1 real yang diametenya kurang lebih 30 cm. Seperti roti yang dibuat menggunakan tungku yang amsih sangat tradisional. Tamis harus segera dikonsumsi agar tidak mengeras terkena udara luar. Dimakan dengan saus olahan kacang dan jeruk lemon. Kalau saya terus terang kurang suka. Rasanya hambar. Enakan nasi pecel. Eh…
7. Jajan Cemilan di Toko Kelontong
Di Arab, sepertinya saya belum melihat yang namanya minimarket retail seperti yang sangat banyak di Indonesia. Toko-toko kelontong milik orang lokal sudah di desain seperti minimarket. Barang-barang yang agak kurang rapi diletakkan di rak sesuai macamnya. Harga memang sudah tertera. Sayangnya mereka masih manual dan kalau mau minta bon atau nota, nama barangnya tidak ada. Hanya harganya saja. Aduh… repot deh.
Jangan heran kalau produk-produk asal Indonesia banyak dijumpai di sana. Bahkan Indofood pun sudah punya pabrik di Arab. Berikut beberapa jajanan yang saya beli selama di sana. Maklum kami semua doyan nyemil, biar kuat angkat kardus obat :))
Kami di sana kemarin juga suka beli croisant ala-ala seharga satu real isinya ada coklat, vanila, dan strawberry, harganya 1 real saja. Kami menyebutnya dengan roti seven. Soalnya di platiknya ada angka 7. Teman-teman juga beli buat oleh-oleh. Kalau saya tentu saja tidak. Makan tempat banget soalnya.
Selain itu kami juga rajin beli jus. Jus jeruk di Arab itu enak banget. Cuaca yang mencapai 42 derajat celcius itu, menjadikan kami harus sering minum dan konsumsi buah segar supaya tidak dehidrasi. Jus jeruk diperas langsung dari jeruk segar tanpa gula aja rasanya manis banget. Enak, rasa jeruk asli. Harganya lupa, maaf. Tapi gak mahal kok.
Kangen Makanan Indonesia? Jangan khawatir, ada ini nih… :
Sebagai negara yang menurut saya memiliki makanan terenak di dunia, paling lama hanya bertahan tiga hari tahan dengan makanan asing. Setelah itu, tentu terbayang-bayang bakso, mie ayam, sate, sop iga, dan masih banyak lagi. Meski kami bawa sambel terasi, ikan saluang, dan kering kentang, keinginan kami makan masakan Indonesia terus menghantui. Gak usah khawatir, di Arab banyak restoran atau rumah makan Indonesia dengan koki orang asli Indonesia.
- Warung Bakso Mang Udin
Warung Bakso Mang Udin terletak di pusat pertokoan Al Balad Jeddah. Memasuki area Al-Balad, langsung kelihatan jelas. Melihat plang nya pertama kali, saya langsung senyum-senyum. Keren juga Indonesia yah. Meski kemarin saya datang belum musim haji, warung bakso Mang Udin selalu ramai pengunjung. Pengunjungnya memang mayoritas orang Indonesia yang merantau di Arab.
Menu di Warung Baskso Mang Udin, gak hanya bakso dan mie ayam. Ada soto ayam, sop iga, rawon, nasi goreng dan masih banyak lagi. Minumannya yang paling laris apalagi kalau bukan teh kemasan botol yang punya slogan selalu menjadi teman segala makanan alias teh botol sosro. Sebut aja deh mereknya.

Berhubung itu warung bakso, saya pun pesan bakso tanpa mie dan jeruk hangat. Rasanya standar sih, kayak bakso pada umumnya, gurih kaldu sapi tapi agak kurang asin. Baksonya enak, dagingnya berasa. Untuk mengobati kangen makanan berkuah ya lumayanlah.
2. Rumah Makan Garuda
Selain Warung Bakso Mang Udin, di Al Balad ada rumah makan yang menyajikan makanan Indonesia. Dari namanya saja sudah Indonesia banget. Rumah Makan Garuda. Rumah makan ini terletak di dekat pintu masuk parkir pertokoan Al Balad. Masuk kedalamnya, kita lalu naik beberapa anak tangga.
Menu rumah makan garuda lebih lengkap. Ada nasi rames yang menyajikan masakan seperti oseng-oseng, capcay, tempe orek, terong balado, sampai semur jengkol. Semua diletakkan di etalase ala warteg. Gorengan juga ada. Pisang, tempe, tahu semua digoreng pake tepung. Menunya selain nasi rames antara lain bakso, mie ayam, gado-gado, ketoprak, sop iga, rawon, ikan bakar, sate ayam atau kambing juga ada. Pokoknya ini rumah makan kayak one stop eating Indonesian food. Semuanya ada.
Dua kali kami berkunjung, menu pertama yang saya pesan gado-gado. Maklum, makanan khas Arab minim sayuran. Biar tetep sehat. Pesan gado-gado pake lontong. Sudah bisa ditebak. Porsinya kebanyakan buat saya tapi rasanya lumayan enak. Hari berikutnya sebelum ke bandara kami mampir lagi. Kali ini saya pesan mie ayam. Rasanya lumayan enak. Mengobati kangen mie yamin di kantin kantor. Saking enaknya saya lupa foto. 🙂
Rasa makanan di resto ini terbilang enak semua. Saya icip-icip juga menu yang dipesan teman saya. Pokoknya makan disitu serasa di Indonesia deh. Apalagi sambil nonton televisi yang selalu memutar chanel Indonesia. Tayangan apa yang diputar coba? Apalagi kalau bukan Indosiar dan SCTV yang menayangkan sinetron atau FTV. Para pelayannya pun kalau sedang tidak melayani tamu, ikutan duduk dan ikutan nonton tv dengan khusuknya. Loh segitu kangennya sama Indonesia yah…
Sebenarnya ada satu lagi restoran yang menyajikan makanan Indonesia. Tapi panjang ceritanya, agak drama-drama gitu pas mau makan di sana. Buat bahan next post ajah kali yah.
Pempek City Tour di Palembang

Alhamdulillah dapat rejeki bisa menginjakkan kaki di bumi Sriwijaya, salah satu provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Alhamdulillah lagi ini adalah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Provinsi Sumatera Selatan, tepatnya di Kota Palembang. Sepertinya alam mendukung untuk saya pergi ke Palembang. Bagaimana tidak. Setelah awalnya rencana kantor mau ke Palembang itu bertepatan dengan rencana cuti saya ke Surabaya dalam rangka nikahan adik ipar. Eh ternyata dimajukan dan tidak mau bilang kebetulan, Zaki ditugaskan ke Bangkok. Bukannya gimana yah, soalnya kalo ninggalin suami pas dinas itu kok agak gimana gitu yah. Jadi kali ini dinasnya benar-benar plong deh. Hehehehe.
Perjalanan kali ini bukan liburan yah. Tapi tetep ajah namanya traveling alias business traveling. Jadi ya di Palembang sudah dipastikan kerja, di hotel ajah. Mengurusi bos-bos dan peserta dari beberapa provinsi yang memang kita undang. Kali ini jumlahnya 500 orang. Tapi tetap harus dinikmati dong.
Setelah googling dan cari tahu tempat mana aja yang menarik di Palembang. Kemudian saya tanya-tanya sama teman yang memang orang aseli Palembang. Sedihnya teman saya yang Bapak-bapak itu bilang di Palembang tidak ada tempat wisata selain Jembatan Ampera yang memang menjadi ikon Kota Palembang. Tidak puas dengan jawaban si Bapak, saya kemudian menyebutkan beberapa lokasi yang saya tahu dari blogger-blogger yang baru meramaikan hashtag #pesonasriwijaya melalui akun Instagram mereka. Si Bapak pun menyebutkan lokasi atau daerah tempat-tempat yang menurut teman-teman blogger menarik untuk dikunjungi itu agak jauh dari pusat kota. Kecuali jembatan ampera yah. Saya pun termenung (tsaaahhhh… termenung). Apa bisa curi-curi waktu tanpa memundurkan waktu kepulangan saya di Jakarta. Yah gimana nanti aja deh. Kita liat nanti aja yah.
Sedikit keberuntungan pun menghampiri. Tiba-tiba Bos besar diharuskan kembali ke Jakarta untuk menghadiri suatu acara yang penting. Beliau meminta saya untuk membeli pempek, untuk dibawa sebagai oleh-oleh ke Jakarta.Tenu saja saya senang. Dengan begitu saya bisa keluar hotel dan melihat kota Palembang. Iya. Saya senang, meski sekedar hanya ke toko Pempek. Kemudian, dimulailah City Tour Pempek di Kota Palembang. Ahey.
- Pempek Candy (Dekat Bandara Sultan Mahmud Badarudin II dan masih banyak lagi)
Pempek Candy adalah pempek yang dipesan Bos saya. Waktu itu saya tidak menanyakan alasan dia kenapa dia memilih Pempek Candy. Pastinya dia punya alasan tersendiri, karena di Palembang banyak sekali merek Pempek yang dijual. Pempek Candy termasuk yang sudah cukup ternama di Palembang. Toko-tokonya yang cukup besar tersebar di mana-mana.
Toko Pempek Candy yang kami kunjungi bukan toko yang besar. Kami memilih mendatangi toko yang lebih meneyerupai rumah. Biasanya di tempat itu pempek diproduksi, sukur-sukur kami bisa melihat pempek yang sedang dalam proses produksi.
Tiba di sana, kami langsung memesan Pempek yang diperuntukkan sebagai oleh-oleh. Ternyata ada beberapa paket yang ditawarkan. Mulai dari 100.000 sampai 500.000 rupiah. Semua nanti dikemas dengan kardus yang praktis dan siap dibawa untuk oleh-oleh.
Sembari menunggu pesanan kami siap, kami memutuskan untuk mencicipi pempek Candy. Awalnya kami tidak tahu dan mau memilih seperti di toko pempek di Jakarta. Tetapi di Palembang, Pempek dijual per porsi. Satu porsi biasanya berisi sekitar 10 pempek yang terdiri dari kulit, adaan, lenjer dan pempek isi telor atau kapal selam. Akhirnya kami memesan satu porsi pempek yang kemudian kami disediakan wadah mangkuk kecil yang terbuat dari melamin untuk tempat cuko dan sambal hijau jika dirasa kurang pedas.

Saat seporsi pempek dihidangkan di depan kami, tidak sabar rasanya untuk segera mencicipi pempek langsung di kota kelahirannya ini. Konon katanya, pempek aseli dari Palembang sangat berbeda dengan Pempek yang ada di kota-kota lainnya, sekalipun itu pempek yang paling enak di sana.
Saya menuangkan cuka atau yang dalam bahasa Palembang disebut cuko ke dalam mangkok. Sepertinya cukanya tidak terlalu kental. Ketika dimasukkan ke dalam mulut, pempek masih terasa hangat. Tetapi menurut saya, ini bukan pempek yang paling enak. Menurut saya lho. Bahkan rasanya lebih enak pempek Gaby di Bekasi. Cuko nya yang kurang kental dan tidak terasa pedas, membuat kami harus menambahkan sambal hijau lagi kedalamnya. Menurut saya, cuko yang enak itu harus terasa saat pertama kali. Seperti rasa pedas, manis, asam, yang pas berpadu dengan gurihnya pempek. Jadi menurut saya pempek merek Candy, biasa saja. Maaf buat fans garis keras nya Candy. Hehehehe.
2. Pempek Noni 168 (Pusat : Jl. Sudirman depan SMAN 3 Palembang)
Perjalanan Pempek City Tour kami berlanjut ke Pempek Noni 168. Bangunannya di sebuah ruko yang terletak di jalan utama kota Palembang yaitu Jalan Sudirman, tepatnya di depan SMAN 3 Palembang.
Bangunannya tidak begitu besar. Begitu tiba kami langsung memesan satu porsi pempek yang tentunya akan kami makan bareng-bareng. Tujuan kami kan memang mau mencari pempek yang paling juara buat kami bawa sebagai oleh-oleh. Hehehe. jadi icip-icip dulu, beli banyak kemudian.
Sambil menunggu pempek digoreng saya menengok ke ruko sebelah, yang ternyata adalah tempat produksi pempek Noni 168. Sayangnya ketika saya datang, produksi telah usai. Produksi dimulai dari jam 8 pagi hingga waktu Zuhur.
Pempek sudah terhidang, sayangnya kali ini saya lupa mengambil foto pempek yang tersaji (keburu nafsu lihat pempeknya). Rasa pempek Noni menurut saya lebih enak dibanding Candy, begitupula cuka nya. Cuka nya lebih kental dan lebih berasa pedasnya. Pempek Noni 168 juga menjual biang cuko dalam kemasan plastik. Jika mau digunakan tinggal ditambah air sesuai selera. Oke. Mari lanjut ke toko pempek berikutnya.
3. Pempek Lince (Jl. Tugu Mulyo No. 2398/ Sekip)
Pempek Lince belum pernah kami dengar sebelumnya. Kali ini sopir mobil rental kami yang orang aseli Palembang yang merekomendasikan. Dia membawa kami bukan ke sebuah jalan besar, tetapi ke sebuah kompleks perumahan. Perumahan daerah Sekip namanya. Kebanyakan bentuk rumah di perumahan ini perumahan bergaya bangunan tua.
Tempat Pempek Lince diproduksi dan dijajakan memang bukan toko, melainkan rumah. Rumah biasa yang bagian teras dan ruang tamunya disulap menjadi tempat makan bagi pelanggan yang datang. Memasuki ruang tengah kami bisa melihat proses pengemasan pempek.

Saat kami datang, sang empunya Anton, menyambut kami dengan ramah. Mempersilahkan kami masuk dan melihat-lihat proses pengemasan pempek yang sedang dikerjakannya dibantu dua orang pegawainya. Nama Lince diambil dari si pemilik alias isteri Koh Anton namanya Lince. saat kami kesana Ci Lince sedang tidak ada. Keahlian Lince membuat pempek ternyata adalah resep turun temurun dari Ibu, Tante hingga Sang Nenek.

Pempek Lince memang terbilang baru dibandingkan dengan pempek lainnya. Mereka baru memulai usaha di tahun 2010 dan memulai memasarkan lewat online shop ataupun media sosial. Tidak heran keberhasilan usaha Pempek Lince melalui online membuat pempek Lince termasuk makanan yang direkomendasikan oleh Trip Advisor. Pembukaan model warung pempek dimulai setelah melihat banyaknya pelanggan yang mendatangi rumah produksi mereka. “Kok kayaknya gak enak ya, gak punya tempat makan kalau pelanggan datang ke sini.” terang Anton.
Anton dengan sabar menjawab pertanyaan saya yang banyak sambil sesekali potret sana sini. Koh Anton juga mengajarkan kami bagaimana caranya memilih pempek yang baik, rahasia kelebihan pempek Lince dibandingkan Pempek lainnya yang ada di Palembang.

Anton menjelaskan kelebihan pempek buatannya adalah cuko buatannya yang kental dan ada tingkatan rasa kepedasannya. Seperti Pas Mantabb, OMG (OMG pedasnyo), dan Cek TKP alias Enak Top kurang pedas. Jadi pembeli bebas memilih cuka sesuai selera. Belum lagi bahan baku cuka nya yang menggunakan gula aren bukan gula pasir. Rasa asam pun bukan dari cuka kimia, tetapi dari jeruk kunci. Sebuah jeruk khas Palembang yang bentuknya kecil-kecil. Pempek Lince juga menggunakan telur bebek sebagai isian pempek kapal selam. Pengemasannya pun dengan di vakum tidak dibaluri sagu, karena dapat mengubah cita rasa pempek.

Selain pempek tenggiri, pempek yang memiliki tagline Mantabb Pempeknyo Dahsaytt cukonyo ini juga membuat Pempek dari Ikan Belida. Tetapi karena sudah mulai sulitnya bahan baku Ikan Belida, pempek Ikan Belida tidak diproduksi setiap hari, hanya jika ada pesanan saja.
Akhirnya pempek terhidang. Kami tidak sabar mencicipi. Benar saja, ketika pempek dan cuka berpadu. Rasanya enak sekali. Pempek kulitnya garing sekali. cuka nya pun kental, manis gula jawanya terasa, dan asamnya pas tidak menyengat. Sampai perjalanan ini menurut saya, Pempek Lince juara. Hehehehe. Sumpah ini gak di endorse yah. Oh yah paket pempek Lince dijual dari harga 100.000 sampai 980.000.

4. Pempek Vico (Jl. Letkol Iskandar, Palembang, Kota Palembang, Sumatera Selatan)
Pempek Vico adalah rekomendasi dari teman saya. Katanya rasanya enak. Ah semua juga enak kan. Apalagi merek kabel alias kagak beli. Hehehe.
Warung Pempek Vico cukup besar. Saat kami datang pun cukup ramai dengan pengunjung yang makan di tempat. Sayangnya perut kami sudah tidak kuat untuk menampung pempek lagi. Akhirnya kami bungkus saja satu porsi untuk di makan di hotel nanti.


Tiba di hotel, saya bergegas sholat ashar karena hari sudah sore. Disambut teman-teman yang mau memesan pempek. Langsung saja Pempek Vico kami diserbu dan langsung habis. Kesimpulannya saya tidak mencoba pempek Vico. Mungkin lain kali saya ke Palembang lagi deh. Eh kok susah amat. tinggal telfon kan bisa yah.
Tidak kehabisan akal, saya bertanya ke salah satu teman saya yang mencicipi Pempek Vico. Menurut teman saya yang namanya Lili, menurut dia pempek nya kurang lembut dan cukanya tidak terlalu kental dan rasa pedasnya kurang.

- Pempek Beringin (Jalan Lingkaran 1 No. 20/B 9, Ilir, Sumatera Selatan)
Toko pempek yang terakhir kami kunjungi adalah Pempek Beringin. Toko ini juga cukup besar di ruko yang terdiri dari dua lantai. Ada salah satu teman saya yang maunya dibelikan Pempek Beringin. Akhirnya kami mengunjungi Pempek Beringin ini.
Warung Pempek Beringin yang juga terletak di ruko ini pun terbilang apik menurut saya. Desain ruangan di dalamnya menarik. Seperti ada beberapa tulisan di dinding yang meneceritakan sejarah pempek ataupun cerita tentang cuka pempek. Selain itu di Pempek Beringin, pengunjung juga bebas memilih pempeknya yang diajikan seperti prasmanan. Di bagian depan juga ada tempat dijajakan oleh-oleh khas Palembang lainnya seperti lempok durian, sirup markisa khas Medan, gantungan kunci, boneka pengantian adat Palembang dan lain-lain.




Rasa pempek beringin tidak berbeda jauh dengan pempek lainnya. Tetep enak (gagal jadi food blogger) :). Rasa asam cukanya menurut saya terlalu asam. Harga di pempek Beringin ternyata belum termasuk pajak 10%. Selain pempek di sini juga dijakan pempek khas Palembang seperti kue lapis kojo, tekwan, sarikayo, mie celor,ataupun rujak mie.
Kesimpulan dari City Tour Pempek di Palembang kali ini menurut saya juaranya jatuh ke Pempek Lince, kedua Noni 168, ketiga Beringin, lalu Candy. Untuk Vico, karena saya belum pernah mencicipi langsung, saya tidak berani mengikutsertakannya.
Pempek yang baik bukan pempek yang bau ikannya menyengat, bahkan konon jika bau terlalu menyengat bahan baku ikan yang digunakan sudah kurang bagus. Jika pempek terbuat dari ikan belida yang kini sudah langka, bahkan pempeknya tidak terlalu bau ikannya, tetapi teksturnya lebih lembut.
Pempek bisa tahan lama jika ditaruh di freezer lemari es bisa bertahan selama beberapa bulan, asalkan tidak keluar masuk kulkas. Sebaiknya pempek yang disimpan, dikemas untuk sekali makan sehingga tidak terlalu sering terpapar dengan udara di luar, dengan begitu pempek akan lebih tahan lama.Tetapi siapa yang tahan mendiamkan pempek lama-lama kalau rasanya terbayang-bayang sangat menggoda lidah.
Apapun mereknya, bagi sebagian besar orang Palembang pempek merupakan makanan wajib yang harus ada di rumah setiap hari. Pada umumnya mereka biasa membuat pempek di rumah dan selalu memiliki persediaan biang cuka. Seperti yang disampaikan Anton dari pempek Lince, mungkin semua orang di Palembang bisa membuat pempek. Tapi ada yang rasanya biasa dan istimewa, dan keahlian istimewa itu yang merupakan berkah bagi pengusaha pempek di Palembang. Mungkin jika rasa pempek tidak terlalu berbeda antara merek yang satu dan yang lainnya, perbedaan yang bisa dirasa adalah rasa cuka sebagai teman menikmati pempek. Selamat menikmati pempek.