Bersyukur…

Sudah seminggu terakhir naik KRL ke kantor masyaallah penuhnya bikin pengen nangis banget. Ya tapi mau gimana lagi, kendaraan itu yang paling memungkinkan membawaku sampai di kantor dengan waktu yang paling singkat sekarang ini. Meski ya tetap aja telat sampai kantor.

Bukan, bukan karena ada Azzam. Ya sayanya ajah sih yang salah. Padahal tiap hari bangun jam 4 pagi, biasanya langsung masak air bukan bikin aor lemon, masak buat Azzam, potong buah, packing yang mau dibawa, kemudian mandi, sholat, sampai Azzam bangun, dan biasanya kami selesai jam 5:30-06:00. Selesai semua kami langsung ke Bintara buat taruh Azzam di rumah Ibu.

Balik mau cerita di KRL. Naik kereta jam 07:00 itu ya butuh perjuangan banget. Kondisi kereta yang tiba di Cakung sudah penuh. Begitu masuk, ada suara, “Ada yang gak hamil?” gak ada yang jawab. Ya Allah bangku prioritas 6 sudah penuh dengan Ibu-ibu hamil. Lagi musim hamil apa gimana sih? Ya ampun gimana ibu itu dong.

“Sebelah sana aja bu.” sahutan dari beberapa penumpang terdengar. Duh mau gerak aja susah, ini lagi nyari kursi. Ya tapi akhirnya selalu ada sih yang kasih. Hehehehe.

Ingatan saya terbang ke tahun 2018 awal hingga pertengahan. Iya apalagi kalo bukan pas hamil Azzam. Allah kok sayang banget ya sama saya. Kayaknya tahu banget buat kami yang ya selain nunggunya lama, buat hamil pakai program juga, ya pas aja hamil pas lagi kuliah. Kuliah paling banyak seminggu tiga kali ke kampus. Zaki juga baru pindah kerja dan kantornya belom sibuk banget. Jadilah setiap ke kampus diantar jemput. Pokoknya kemana-mana diantar deh. How lucky I am hehehe. Ya tapi pas anaknya sudah lahir aku kembali menjadi wonder woman, huft…

Ya udah pengen cerita itu ajah. bersyukur ceritanya. Allah memang paling tahu kapan waktunya ya? Tapi abis itu turun kereta susah cari gojek, hujan, telat ke kantor dan kemudian marah-marah lagi wa Zaki. Hahahahha… ya namanya manusia. Wkwkwkkwk. Postingan yang sangat berfaedah kan??? :))))

 

Pumping di Ruang Menyusui Kantor Bikin Insecure?

 

perlengkapan pumping di kantor
perlengkapan pumping di kantor 🙂

Terhitung September 2019, saya kembali ke kantor. Usia Azzam sudah 10 bulan lebih. Alhamdulillah masa-masa perjuangan drama kejar-kejaran ASIP karena si bayi Cuma bisa minum ASI telah terlewati. Azzam sudah memasuki fase MPASI (Makanan Pendamping ASI). Alhamdulillah sudah makan ini itu, tidak bergantung dengan ASI. Lucunya lagi karena kelamaan DBF (Direct Breastfeeding), Azzam jadi lupa nikmatnya mimik memakai dot. Hihihihi. Jadilah mimik ASIP pas ditinggal Ibu pakai gelas yang ada sedotannya. Seharian ditinggal Ibu, Azzam biasanya habis 100-200 ml saja. Biasaya mimik ASIP di jam snack, 1-2 jam sebelum atau sesudah makan.

Bagaimana stok ASIP di kulkas setelah Ibu masuk kerja? Alhamdulilah ada, meski tidak berlimpah ruah seperti Ibu-ibu yang suka posting ASIP satu freezer tersendiri. Rencana saya, saya mau kasih ASIP segar ke Azzam. Insyaallah dengan dua kali memompa di kantor, kebutuhan masih bisa terkejar.

Saya berkantor di Kementerian Kesehatan, yang sudah jelas pasti ada dong ruang amenyusui. Ruang menyusui yang terbilang lengkap dengan fasilitasnya dan tentu saja nyaman. Sofa besar yang bikin ngantukable, pompa ASI grade hospital, sterilizer, kulkas, wastafel tempat cuci botol, sampai pemberian makanan tambahan untuk Ibu menyusui. Lengkap pokoknya. Ruangannya tentu sjaa ber-AC dengan lampu penerangan yang tidak terlalu terang dan dinding ber-wallpapaer.

Sebagai pendatang baru, kemudian saya didaftakan ke grup WA Ibu Perah. Wow rame sekali, asyik nih. Belum lagi ceriita dari teman-teman saya serunya memompa ASI di ruang menyusui. Bisa sambil ghibah sesama busui ketika memerah dan katanya bisa menghasilkan hormon oksitosin yang bisa melancarkan dan meningkatkan produksi ASI. Wah, sepertinya akan menyenangkan. Begitu istimewanya posisi Ibu-ibu menyusui ya, alhamdulillah. Ya gimana gak istimewa semua sudah ada aturannya kok dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Kumplit. Standar ruang menyusui di gedung perkantoran.

Eh tapi, saya baru ngeh, kok ada ya, teman saya, di ruangan yang males buat memompa di ruang ASI. Kemudian ingatan saya muncul pada hasli penelitian tugas kuliah waktu itu. Iyah, saya dengan kelompok membuat tugas melakukan penelitian kualitatif terhadap motivasi Ibu menyusui yang bekerja untuk memberikan ASI ekslusif, yang lokasinya di Kementerian Kesehatan. Hihihihi biar gak ribet-ribet ye kan? Penelitian di kantor sendiri.

Hasilnya? Apakah semua Ibu bekerja di kantor saya melakukan ASI ekslusif? Jawabannya ternyata tidak. Karena ini bukan penelitian kuantitatif, maka  kami mencari informan yang sekiranya dapat mewakili mengapa Ibu tersebut tidak memberikan ASI ekslusif. Padahal fasilitas di kantor kumplit. Dengan adanya Permenkes, seharusnya semua pegawai di kantor memahami kondisi Ibu menyusui. Didapatlah salah satu alasan karena ASInya tidak banyak. Banyak teori yang bilang ASI itu tergantung permintaan. Jadi ya rajin-rajinlah memompa.

Ada yang gak enak dengan bos kalau sering izin dan pekerjaan terbengkalai, dan ada juga yang merasa insecure kalau lihat hasil perahan Ibu-ibu lain jadi males buat memerah di ruang pumping. Pasrah dan sudahlah kasih sufor saja. Ya gak papah juga sih.

Jadi gimana dengan saya? Apakah dengan fasilitas yang bagus dan lengkap saya jadi semangat memompa? Asi jadi deras? Jawabannya ya dan tidak. Awalnya sih iyah, saya semangat sekali, sampai suatu ketika Ibu-ibu yang memang mungkin tidak dengan sengaja memperlihatkan hasil perahan mereka yang jumlahnya bisa 3-4 kali dari hasil perahan saya. Waduh… yang tadinya saya cuek, kemudian jadi ciut. Insecure. Kemudian yang awalnya PD gak pake apron (alat penutup dada) jadi besoknya pake apron atau ditutupin jilbab botol hasil perahannya. Nuang ke botolnya pun malu-malu. Duh jangan sampai deh kelihatan Ibu-ibu lainnya. Yang awalnya ingin ngobrol jadi males. Walhasil ngaruh ke psikologis, hasil perahan makin surut, karena ya TIDAK HAPPY. Wkwkwkwk.

Besoknya saya memutuskan untuk pumping di kubikel saja. Awalnya saya malu, tapi kemudian ya maap-maap ya… ketutupan kok. Pake apron kok, aman, tetap sesuai syariah. Sambil ngemil, sambil nonton youtube, sambil kerja kadang. Ya bebas lah. Gak lihat hasil perahan Ibu-ibu lainnya. Kelar, langsung masukin kulkas. Cuci pompa biarlah urusan nanti di rumah saja.

Baru sadar, di ruang menyusui memang ada beberapa tipe Ibu-ibu memerah. Salah satunya ya itu. Ada yang pake apron, ada yang cuek bebek saja. Kemudian ku menarik kesimpulan, kalau mereka yang memakai apron sepertinya seperti diriku. Insecure gak mau dilihat kalau hasil perahan ASInya tidak banyak. Iyah, soalnya nanya juga saya sama salah satu dan salah dua Ibu-ibu. Tentunya dengan cara bertanya yang gak menghakimi. Lah, orang senasib kan. Hehehe.

Ya udah, saya sekarang kadang pumping di kubikel, kadang di ruang pumping. Ya emang salah saya juga dapat teman pumpingnya yang ASInya banyak. Terus gak PD-an. Kepo maksimal juga. Padahal yah, seberapun dapatnya ya disyukuri aja. Yang penting hasilnya cukup buat anak kita kan. Soalnya ada, Ibu-ibu yang Asinya buanyak, tapi anaknya gak mau minum ASIP. Padahal dia sudah mencoba berbagai media pemberian. Walhasil hasil perahannya itu buat mandi. Hehehehe. Lalu untuk apa dia memompa? Ya itu tadi kan anaknya masih dbf. Jadi biar stok ASInya tidak habis karena selalu ada permintaan.

Tapi ya Ibu-ibu, percayalah Ibu itu insyaallah yang terbaik buat anaknya. Apapun keputusan yang dipilih Ibu, pasti mengutamakan anak. Meskipun si Ibu malas pompa, yang terpenting si Ibu bahagia. Gak kayak saya yang insecure-an dan kemudian makanya saya memilih yang membuat saya bahagia dengan pumping di kubikel. Yah sayang sih gak dapat makanan tambahan. Ah sudahlah, jajan ajah banyak kok kang jajan di kantor. Hahahhaa.

Semoga semua anak-anak di Indonesia bahagia karena sang Ibu bahagia dengan apapun pilihannya ya. Aamiin.

Hasil perahan di kubikel
hasil perahan di kubikel today 🙂 100 ml alhamdulillah

29 Oktober 2019

 

 

 

 

Kok Bisa Sembuh dari Virus Drakor?

Seingat saya, mulai nonton Drama Korea itu dimulai dari ditawarin teman kantor. Namanya Sari. Beneran waktu itu saya bingung sama orang-orang yang hobi nonton drama Korea, lagu Korea, sampai boyband Korea. Di mana sih asyiknya? Belum lagi mereka yang sampai segitunya mengidolakan laki-laki yang katanya sebagian orang bilang kekurangan testosteron itu. Iyes juga sih saking mulusnya muka. Hehehehe.

Nah akhirnya, teman saya itu meminjamkan saya kaset DVD drama korea yang berjudul Heart String. Pemerannya itu Yong Hwa-nya CN Blue sama Park Shin Hye. Ceritanya itu ringan banget ya Allah kek gak ada beban hidup. Biasalah drama Korea yang awalnya ceweknya yang suka, cowoknya jual mahal sampai akhirnya berbalik si cowok yang tergila-gila sama ceweknya. Eh gak tauknya orang tua mereka saling kenal dan punya kenangan manis. Pilihannya, ortu atau anak-anak yang bahagia. Akhirnya yang tua ngalah sih. Dah gitu doang. Gak diceritain akhirnya mereka menikah aau tidak. Ya orang pada masih kuliah kan.

Drama itulah yang menjadi titik balik. Yaelah titik balik. Iyah kujadi mulai suka. Abis gimana yah, manis banget itu si cowok pas ngerayu-rayu ceweknya. Ya kan mana juga cewek macam saya tidak ketagihan nonoton drama Korea. Lihat cowok ganteng, muka mulus, dengan kelakuan manis banget kek boba. Sejak itu saya mulai mencari-cari drama korea. Bahkan sampai beli DVD bajakannya dong. Bodo amat gak mikirlah kalau beli bajakan itu salah. Gak mikir beli juga buang-buang uang. Kenapa juga gak donlot aja. Males ah, rempong. Sepulang kerja langsung ajah di depan tivi. Kalau weekend saya sampai minta izin begadang sama suami, buat nonton.  Mana kalau sudah mulai, penasaran banget sama endingnya dong. Oh iya syarat drama yang saya tonton itu syaratnya harus happy ending. Kalau gak happy ending, males ah. Ntahlah saya seperti mencari kebahagiaan semu. Hati adem gitu lihat model percintaan mereka yang so sweet gitu. Hahahaha. Tapi untungnya gak sampai berharap suami jadi kek oppa-oppa  di drakor sih. Masih nginjek bumi lah saya mah.

Epiknya lagi, waktu lebaran, saya sampai bawa hardisk buat menyimpan film dari sepupu suami. Hahaha. Iyah anak kuliahan di Yogya, cuma butuh modal warnet sama hardisk ajah, udah bisa menikmati banyak judul film Korea yang bagus-bagus itu. Yah mahasiswa mana maulah keluar uang yang tidak sedikit buat beli kaset dvd.  Nah sayangnya kadang saya kurang puas gitu nonton di laptop. Sedangkan tv kami kala itu belum mendukung untuk dicolok-colokin ke hard disk.

Selain dari dvd dan hardisk saya juga nonton yang streaming dong. Di mana itu drama masih tayang di negara asalnya sana. Tiap minggu itu jadi gak sabar menunggu jadwal hari tayangnya. Donlot aplikasi juga iyah. Viki namanya waktu itu. Nonton di kantor? Jangan ditanya. Bahkan bos saya memaklumi hobi saya yang satu ini. Yang penting kerjaan kelar sih. Hehehe. No problemo.

Bagaimana dengan boyband atau girlband-nya? Apakah saya jadi ngefans sama mereka juga? Iya sih. Tapi sedikit. Gak ngefans banget. Palingan yang saya suka itu ya lagu-lagu dari soundtrack drakor favorit saya saja. Setiap malam apa gitu saya juga nonton infotainment yang memberitakan gosip-gosip artis Korea gitu. Zamannya SnSd, Bora, apalagi yah. Gak terlalu apal sih.

Oke, kembali ke judul kenapa saya bisa sembuh dari penyakit akut kecanduan korea?

Seingat saya, drama korea terakhir yang saya tonton itu Descendents of The Sun deh. Drama yang menjadikan Song-song couple bertemu dan kemudian menikah dan akhirnya tidak bertahan lama mereka bercerai. Tahun 2017 waktu itu. Tahun itu juga saya tugas belajar. Waktu saya di rumah seharusnya lebih banyak dong. Pagi kuliah, ngerjain tugas, beberes rumah, masak, dan me-time. Me-time saya ya apalagi kalau tidak baca buku dan nonton you-tube. Tapi anehnya pemirsa, justru pada saat itulah tiba-tiba saya males aja nonton drakor.

Kemudian saya hamil, di mana energi “the power of doing nothing” itu besar sekali saya malah hilang hasrat untuk nonton drakor. Malah yang ada saya hobi nonton youtube Ria SW, Tasya Farasya, Fatiya Biya, Suhay Salim, sampai Mat Kiding. Teman saya yang saya racunin drakor pun terheran-heran. Bahkan dia masih hobi nonton dan mempengaruhi saya dengan cerita-cerita drakor yang seru. Genre gadis miskin dapat CEO gitu juga pastinlaris. Lagi-lagi saya malas dan sama sekali gak tertarik. Bahkan teman saya sudah mengiming-imingi pemain oppa-nya ganteng, saya waktu itu lebih memilih bobo siang, baca buku, atau ngeblog. Percaya deh, waktu itu saya rajin ngeblog. Eh pas udah hamil kok jadi males. Salahin hormon ajah yah.

Nah jadi gimana? Mau mulai nonton lagi atau tidak. Menurut saya sih baiknya ya gak memulai lagi. Ambyarlah bisa dibilang sayang sih waktunya. Bisa diisi hal-hal yang lebih produktif. Kek apa ya? Ngeblog, belajar apa gitu, baca buku. Apa ajalah.

Eh tapi yang mau me-time an nonton drakor ya gak papah loh ya. Semuanya ada waktunya kok. Percayalah. Saya pikir juga dulu saya gak akan bosan. Wong produksi dramanya terus menerus. Eh datang juga rasa bosan.

Yang lucu, virus hobi nonton Korea akhirnya saya tularkan ke suami. Hobi suami memang nonton film. Nah, sekarang hobinya nonton chanel TVN dong. Untungnya sih sukanya film yang sekali habis, bukan drama yang sekian episode.

Gak dipungkiri, Korea itu keren banget industri filmnya. Jalan ceritanya ada ajah, sulit ditebak, dan bisa mengobrak-abrik emosi penontonnya. Genre action, spy, dan sejarahnya juga bagus.

Nah jadi apa tipsnya biar sembuh dari kecanduan virus drakor? Hamil? Hahahaha ya nggak gitu. Ya alihkan ajah dengan kegiatan lain yang lebih seru. Ghibah misalnya, eh bukan-bukan, itumah dosa. Beresin rumah kek, nyikatin kamar mandi juga boleh, dan satu lagi sudahlah jangan mulai lagi. Tapi tidak menutup kemungkinan juga yah saya bakal kecanduan lagi. Hihihi…

Liburan ke Bali sama bayi

Akhirnyaaa… Ibu liburan lagi. Meski liburannya tipis-tipis banget dan dalam rangka mendampingi Pak Suami kerja. Kali ini ke Bali. Persiapan cuma dua hari doang dong. “Bu, Bapak jadi nih ke Bali, ikut yuk.” si Bapak tiba-tiba ajah gak ada angin gak ada hujan ngomong. Gak tauk apa sekarang sudah ada Azzam. Mau ke supermarket deket rumah aja nyiapinnya dari H-1 wkwkwk. Ini lagi mau ke Bali baru ngomong h-2. “Ayuklah Bu, mumpung belum masuk kerja. Itung-itung refreshing.” tambah si bapak lagi. Dalam hati mah, “elah… liburan… dengan segala kerempongannya ini mah.” Hahahahaha. Masih aja ngedumel. Emang sih, dipikir-pikir kapan lagi ye kan, ntar kalo sudah masuk kerja, yah gak tauk deh.

Kami pun bagi-bagi tugas. Zaki pesan tiket, sama cari hotel, saya berkemas nyiapin keperluan kami semua. Sebenarnya yang bikin kepala pening sih apalagi selain MPASI sodara-sodara. Usia Azzam yang masih 9 jalan 10 bulan masih PR banget kan nyiapin MPASI kan. Makan nasi belum bisa, makan makanan instan kayak bubur bayi juga kasihan terlalu halus.

Mulai berselancar di dunia maya deh tips n trik traveling sama bayi. Awalnya hampir mau bawa blender segala, sampai mau beli slow cooker. Maklum selama ini gak pake slow cooker. Merasa lebih praktis pakai panci aja sih. Eh nemu blog yang menceritakan liburan dengan bayi ke Bali dan nyewa peralatan tempur MPASI di Eve Baby Care. Saat itu juga nyoba wa. Sudah malam, dan baru dibalas keesokan paginya. Sepakat sewa slowcooker dan blender baby safe yang bisa untuk mengukus. Oke done. Masalah satu terpecahkan.

Azzam dan Ibu di Bandara
Nungguin pesawat. Sudah mam, sudah pup

1. Persiapan MPASI

Perlengkapan oke, akhirnya bekal beras, butter, daun salam, dan kaldu jamur. Selain itu untuk darurat bawa bubur instan Cerelac, biskuit bayi Milna, cemilan yummy bites dan bebe roll. Gak lupa wadah makannya ya. Mangkuk, sendok, sendok makan, termos air panas, dan gelas minum tentunya.

Sampai sana gimana? hehehe. Tentu saja, Ibu mager. Di hotel pertama kami menginap di Mercure Nusa Dua. Memang harganya terbilang terjangkau untuk lokasi di daerah Nusa Dua. Sayang menu sarapannya kurang baby friendly. Sayur rebus gak ada, tempe goreng juga gak ada. Jadi pagi itu Azzam sarapan bubur ayam campur telur rebus aja. Sayurnya gak ada. Soalnya gak ada sayur rebus. Gak ada menu gado-gado. Adanya tumisan dan salad yang mentah.

Siangnya pun berulang. Makan itu lagi. Ya Allah, maafkan Ibu ya Nak. Nah kan malamnya kami di La Brissa jadi Azzam nyobain Peachy. Kalo gak salah yang rasa sup ayam dan jagug deh. Berhubung habis main di pantai dan foto-foto, Azzam sepertinya doyan-doyan saja. Alhamdulillah.

Nah dua hari berikutnya kami pindah ke daerah Canggu. Kenapa Canggu? Ya karena belom pernah aja. Hahaha. Sederhana kan alasannya. Pengen tahu daerah Canggu itu kayak apa sih. Zaki yang cari hotel memutuskan menginap di Hotel Jambuluwuk Canggu. Hotelnya dari luar kecil, tapi ketika masuk lumayan panjang dan nyaman. Hawanya sejuk, karena tidak jauh ada kolam renang dengan air terjun buatan yang bergemericik.

Jambuluwuk Seminyak
Jambuluwuk Seminyak

Kami dapat kamar persis di depan kolam renang. Syenang sekali, kamarnya lebih bagus dibanding di Mercure kemarin. Ada ruang tamu, meja makan, dua televisi, dan bathtub. Happy sekali ada bathtub ini, soalnya sesi memandikan si bayik akan lebih mudah. Hehehe. Ibuk happy. Lalu harganya gimana? Ya jelas ada harga ada rupa. Kalau yang Mercure sekitar 800 ribuan, yang Jambuluwuk itu 2 malam 2100k.

Nah pas sarapan, itu Jambuluwuk the best deh. Ada bubur ayam pastinya, ada gado-gado, ada telor rebus, kumplit deh buat bikin makan bayik 4 kuadran, 4 bintang. Eh terus ada temen gue yang komen, “lo pikir itu bubur bebas MSG?” jawabku apa coba, “Bismillah ajah…” hahahhaha… ya kalo ribet sendiri gak liburan-liburan dong. Mamak butuh kewarasan. Longgar-longgar sikit lah.

MPASI di Bali
Bubur, wortel, telur, tempe

Jadi untuk urusan makan si bayi selama liburan kali ini saya mengandalkan makanan ketika sarapan di hotel, makanan instan baik lokal maupun impor, cemilan jadi, buah di hotel juga kubungkus buat cemilan, kue-kue tradisional, dan bawa termos buat makan siang, biar si bayi selang-seling gak makan instan terus. Hehehehe.

Fix sudah peralatan sewa MPASI tidak kugunakan sama sekali. Diketawain sama Zaki rugi 250 rebu. Hahahahaha. Ingat hidup itu masalah memilih. Pilih yang membuat bahagia saja.

3. Persiapan di Pesawat

Persiapan di pesawat ya… bawa tas kecil yang kumplit isinya pampers, baju ganti, minyak telon, tisu basah n kering. Cemilan wajib juga, mainan bawa lah satu dua, juga buku cerita. Oh iya, kalau bisa sebelum terbang telpon langsung ke Airline nya untuk memastikan bahwa dapat kursi yang kita inginkan. Misal di lorong atau lebih enak di barisan paling depan kalo memang belum mampu di kelas bisnis.

Untungnya, kemarin pas terbang Azzam bobo dong pas take-off, eh ternyata pas makanan datang, dia bangun dong. Untunglah bawa cemilan, agak tenang. Eh pas cemilan habis, tetep aja dia merosot ke lantai terus duduk di lantai. Sampai-sampai saya harus berulang kali minta maaf ke Bapak-bapak di sebelah saya yang kemudian bilang, “Wah, anaknya aktif yah..” hahahaha Ya sudah lah ya.

Pas balik jakarta, Azzam sengaja kami buat main terus di bandara. Sibuk merangkak, pokoknya jangan kasih nenen apalagi sampai tidur. Alhamdulillah di pesawat tidur dan itu sampai Jakarta dong. Paling penting lagi kalau memungkinkan emang pas jam tidurnya sih. Dijamin aman jaya lah di pesawat.

4. Ngapain aja di Bali?

Kami kan sampai malam ya, jadilah langsung bersih-bersih ajah, langsung tidur. azzam cuma dilap-lap aja, ganti piyama. Makan malam Cerelac beras merah. alhamdulillah masih doyan. Bapak Ibu sudah makan di pesawat tapi kemudian pesan mie goreng di hotel. Hehehehe. Sepiring berdua saja cukup.

Keesokan harinya, Bapak rencana mau ketemu sama Pak Bos di Canggu yang jaraknya kurang lebih satu jam dari Nusa Dua di sore hari. Nah siangnya kami memutuskan leyeh-leyeh di hotel saja. Setelah sarapan nemenin Azzam bobo pagi. Jam dua bersiap untuk cus ke Canggu karena Bapak janjian jam 4 sore.

Perjalanan ke Canggu ternyata lumayan macet. karena jam Azzam tidur, jadilah dia di mobil tidur dan sampai dia bangun, belum sampai juga dong. baiklah cemilan bebe roll to the rescue. Nah Zaki mampir ke sebuah minimarket, namanya Pepito. Penasaran kuikutan masuk. Lihat-lihat bagian rak tempat makan bayi. Ada yang menarik. Makanan bayi instan tinggal leb. Mereknya Peachy, buatan Thailand dan ada logo halalnya. Variannya pun macam-macam ada beras merah salmon, kentang dengan ayam, dan lainnya. Ambil deh.

Hari ketiga setelah chek-in di Jambuluwuk, kami memilih mengunjungi Bali Bird Park. Bingung juga sih, mau kemana dengan anak bayi. Pertimbangan tempat yang tidak terlalu luas dan hiburan melihat berbagai macam burung dari berbagai penjuru dunia menjadi alasan kami berkunjung ke sana. Lumayan jauh juga ternyata.

Tiba di sana kami makan siang dulu di restonya. Makaannya enak, harga ya lumayan lah. Wajar untuk di tempat wisata. Sambil makan siang, ada pertunjukkan memberi makan burung kakatua. Azzam senang, makannya bareng burung. Hehehe.

Hari keempat, paginya kami jalan-jalan ke pantai dekat hotel. Jalan kaki sekitar lima belas menit. Alhamdulillah azzam kooperatif mau pake stroler dong. ada kejadian lucu. Di jalan pas pulang bali ke hotel, digonggongin anjing. Untungnya ada pengemudi motor yang nolong kami lolos dari gonggongan anjing yang entah marah-marah kenapa. Siangnya kami lagi-lagi menikmati hotel dengan berenang dan siangnya berencana beli Joger dan pie susu buat oleh-oleh. Sebentar aja kok. Jam 5 sore kami sudah di hotel. Makan malam, dan tentu saja Ibu packing untuk pulang keesokan harinya.

Alhamdulillah di perjalanan pulang Azzam pulas tertidur dong. Setelah di bandara kulepas saja di lantai supaya dia bebas merangkak. Kasihan pegel digendong terus. Capek gak liburan sama bayi? Capek. Ribet gak? Ribet dong. Kapok gak? Oh tentu tidak. Jika diberikan nikmat sehat dan rejeki maunya sih yang begini ini rutin. Apalagi kalau anaknya sudah gedean dikit. Aghhh… gak sabar.

 

Cerita Semester Dua Kuliah :) Sudah Setahun Aja… :(

Alooha… blog… wkwkwkwk…

Gilak lama banget gak nulis. Nulis blog maksudnya. Semester dua kemarin sangat menyita waktu banget. Selain waktu pikiran, tenaga, dan semua hasrat lainnya termasuk untuk update blog.

Hari ini sudah sebulan dari libur lebaran dan satu setengah bulan dari libur semester. Ntah kenapa beberapa bulan belakangan diriku males banget yang namanya update sosmed. Bukan gak main sosmed lagi yah, ini sih masih. Susah berhenti. Maksudnya mengupdate isi sosmed gitu loh. Updaete kegiatan sehari-hari atau apalah beropini tentang hal-hal kekinian, dan mengikuti tren-tren kekinian di sosmed seperti fitur terbaru instagram yang namanya Ask Me Question. Hihihi. Gak ngerti kenapa. Rasanya males dan berasa apa yang akan kuupload itu gak penting juga sih. Hahahaha.

Males berkreasi dan aku gak tahu ini sehat apa nggak. Jadi apa nih yang layak mau saya bahas pada tulisan kali ini dong. Nah udah mulai ngetik aja masih bingung.

Cerita seputar kuliah itu seru gak sih? Semester dua ini memang penuh perjuangan ditambah sayanya juga mulai agak goyah. Goyah kenapa? Hahaha. Berhubung semester ini banyak teman-teman satu gang yang sudah mulai egois, secara mencari mata kuliah yang dinaungi dosen PA masing-masing dalam rangka menjalin persatuan dan kesatuan dengan PA. Kemudian, ada mereka yang masih semangat mencari ilmu dan sebagian lain seperti saya ini masih menimbang-nimbang. Apakah sanggup kalo seidealis itu. Misal cari dosen yang kelas berat di mana selain tugasnya yang berat juga berat banget kasih nilai bagus ke mahasiswa. Hehehe. Yah dengan berbagai pertimbangan, di semester dua ini betul-betul perjuangan individu lah.

Bagaimana hasilnya? Alhamdulillah IP turun. Wkwkwkwkwkwk…. tapi gak papah. Saya masih percaya kalau proses itu lebih indah dibanding nilai. Meski semua orang ya akan pertama nanya emang nilai IP. Mana mau mereka dengar cerita, udah begadang siang malam, dan kemudian ketika ujian Manajemen Data Lanjut yang lanjutan statistika itu laptopnya nge-hang dan program gak bisa dipakai, dan seribu macam permasalahan lainnya.

Salah satu yang bikin saya sangat percaya kalau hasil tidak menghianati proses itu terjadi lagi di semester ini. Iyah memang di tahap hidup saya itu, sepertinya bisa dihitunglah yang dibilang beruntung. Pokoknya saya mah kalau mau meraih atau mencapai sesuatu haruslah kudu bekerja keras kalau perlu menangis-nangis deh. Hahahaha. Lebay? Nggak ya memang begitu. Bukan berarti saya tidak mensyukuri apa yang sudah Allah berikan yah, tapi yah sepertinya jalan hidup saya memang harus begitu,

Terus saya sebal gak sama hidup saya? Gak lah. Alhamdulillah sudah dikasih hidup dan membentuk saya seperti yang sekarang ini. Hehehehe. Kalau hidup saya gampang-gampang ajah mah, aduh gak kebayang deh jadinya gimana. Saya jadi lembek dan malas berjuang gitu deh.

Ambil contoh waktu kuliah mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif. Buat peminatan saya, mata kuliah ini penting banget, karena kebanyakan tesis akan menggunakan metodologi penelitian ini. Jadilah saya semangat di awal. dapat tugas observasi aja, saya sampai maksa suami buat mengantar saya ke RPTRA Kalijodo yang lokasinya lumayan jauh dari rumah saya di Bekasi.

Suasana pagi di RPTRA Kalijodo 🙂

Saya tertarik kayak apa sih RPTRA Kalijodo. Pengen banget lihat yang katanya dulu tempat prostitusi sejak zaman sebelum merdeka, menjadi sebuah tempat yang sangat edukatif bagi masyarakat. Meski kondisi fisik saya waktu itu juga bisa dibilang lagi gak fit-fit banget. Eh kemudian, ketika Ujian Tengah Semester, nilai saya sangat tidak  memuaskan. Aduh gimana kalau saya harus mengulang. Itu UTS memang teori banget, harus hafal, yang terus terang untuk sekarang susah banget buat saya menghafal mati. Ya udah terima saja dulu ya.

Alhamdulillah Allah kasih dosen saya baik sekali. Dosen saya memberikan tugas UAS berkelompok untuk membuat sebuah penelitian kualitatif dengan penggunaan berbagai metode. Salah satunya wawancara ataupun grup diskusi. Pokoknya mirip banget  deh kayak buat thesis.

Sesi wawancara tugas Metlit Kualitatif

Nah di sini saya benar-benar mengerahkan segala kemampuan saya. Gimana nggga, alhamdulillah teman-teman satu kelompok juga nilainya udah bagus-bagus semua. Jadi ketika saya mau maksimal mereka justru mempersilahkan. Misal, saya mau nanti pas bagian hasil saya yang presentasi, saya yang rapihin materi presentasi, saya juga merekap hasil wawancara. Wah pokoknya saya mau maksimal deh ngerjainnya. Nah kemudian di akhir semester juga, dosen saya menawarkan untuk memasukkkan hasil riset kami ini untuk surat kabar. Maksudnya dipublikasikan ke umum. Gak harus jurnal ilmiah terindeks. Koran lokal saja cukup. Untuk menambah nilai.

Waduh, saya yang merasa, terbiasa menulis populer, tertantang nih, bagaimana menuliskan hasil penelitian yang terbilang ilmiah untuk dituangkan ke sebuah tulisan di surat kabar populer. Maksudnya biar enak dibaca gitu. Hehehe.

Alhamdulillah tulisan saya dimuat di sebuah harian surat kabar lokal. Gak papah gak nasional juga. Lumayan buat pengalaman. Dosen saya pun cukup memberi apresiasi meski dengan hanya emoticon jempol. Hehehe. Iyah saya mengabari tulisan saya dimuat memang hanya melalui whatsapp.

Alhamdulillah, ketika nilai keluar hasilnya sangat memuaskan. Pokoknya gak nyangka deh kalau melihat nilai UTS saya itu. Senang sekali jadi IP saya meski turun, yah gak drastis banget turunnya. Meski ada yang bikin sakit hati ketika ada mata kuliah 3 SKS yang harus puas dengan nilai B. Tapi saya terima, wong memang saya gak terlalu mudeng, meski sudah kasih usaha besar. Ya sudahlah ya… hahahaha… Padahal itu mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum loh, yang di mana judul peminatan saya saja Kebijakan dan Hukum Kesehatan. :)) Untuk mata kuliah ini, gak bisa pilih dosen, so nikmatin saja, beliau itu :))

Teman2 satu peminatan Kebhukes bareng sama Dosen Pengantar Ilmu Hukum

Untuk mata kuliah yang lain? Cukup puas lah. Alhamdulillah mata kuliah kayak statistik yang sejak zaman SMU jadi momok buat saya bisa saya lewati dengan mendapat sedikit keberuntungan. Keberuntungannya apa? Ketika ujian, saya dikelilingi sama anak-anak dari peminatan Biostatistika, di mana ketika soal ujian diterima, mereka bisik-bisik membahas, rumus mana yang akan dipakai pada soal, dan saya gak sengaja dengar, karena memang persis di belakang saya. Mau gak mau, sedikit ada pencerahan. Meski ya saya juga berlatih bolak balik menggunakan program SPSS yang rumit itu ya… hahahahaha… another alhamdulillah lah pokoknya. Terpenting lagi, laptop dan program saya gak eror seperti yang dialami beberapa teman saya sih. Huhuhuhu.

Mata kuliah Ekonomi Kesehatan alhamdulillah sama Pak Prof favorit Prof. Ascobat Gani nalar saya masih seirama sama beliau. Oh iyah, dapat beliau itu perjuangan loh. Mari berterima kasih buat teman saya Mba Ida dan Tya yang tengah malam menelepon untuk membangunkan saya yang waktu itu lagi road trip sampai Pekalongan, agar supaya bisa mendapatkan Prof favorit sejuta umat mahasiswa FKM UI tersebut. Makasih teman-teman.

Akhirnya foto sama Prof idola 😊😊

Untuk dosen favorit lainnya siapa lagi kalau bukan Pak Sandy, pengampu mata kuliah Metlit kuantitatif yang akhirnya saya ikutan milih demi mengantisipasi kalau-kalau nilai dari dosen yang lain jelek. Soalnya Pak Sandy terkenal dengan kemurahan hatinya dengan memberikan nilai memuaskan. Mari enyahkan idealisme, hahahah.

Untuk mata kuliah dosen PA saya Bu Dumilah Ayuningtyas, saya bahkan ambil dua mata kuliah beliau sekaligus. Mata kuliah Penulisan Ilmiah dan Publikasi juga Manajemen Kebijakan Kesehatan. Sungguh Allah baik hati sekali, memberikan beliau sebagai dosen Pembimbing Akademik saya. Orangnya luar biasa. Keibuan, ngemong, pintar, juara publikasinya di mana-mana, motivator juga. Meski standar beliau agak tinggi buat setiap pembuatan penelitian, ya saya harus bekerja keras sepertinya buat lulus dari UI nanti. Semangat. Alhamdulillah semester dua ini beliau kasih nilai yang lumayan buat saya. Makasih Ibu :)). Kesan pertama yang cukup baik untuk setahun ke depan ya Bu…

Ibu PA terkerennnn…😆

Alhamdulillah dengan segenap perjuangan semester dua terlewati, mari siapkan untuk semester tiga yang meski masih sebulan lagi saya sudah sangat deg-degan. Apa yang bikin saya deg-degan sih? Iyah,  manuskrip yang harus publikasi di jurnal terakreditasi dan tentunya  thesis. Hahahahahahaha. Udahan ah, semangat yoookkk…. kapan merpus lagi, yaaa?? Hihihihihi…

Poto2 pas mau bukber bareng teman satu peminatan

Roadtrip Surabaya-Jakarta Part 4 (Surabaya Hari Kedua: Monumen Kapal Selam dan Kulineran Belut)

Hari kedua kami di Surabaya, dan alhamdulillah kerjaan Zaki sudah beres. Jadi kami berencana langsung balik saja ke Jakarta, siang ini langsung chek-out dari Harris. Pagi ini karena lebih santai, Zaki fitness dan saya berjemur di pinggir kolam renang mencari sinar matahari sembari membaca novel saya yang mulai nagih untuk diselesaikan.

Kolam renang Hotel Harris selalu bagus

Continue reading “Roadtrip Surabaya-Jakarta Part 4 (Surabaya Hari Kedua: Monumen Kapal Selam dan Kulineran Belut)”

Roadtrip Jakarta-Surabaya (Part 3) Surabaya; Jalan-jalan Kaki dan Kuliner Bebek Kayu Tangan

Berhasil menembus kemacetan Surabaya menjelang senja hari itu, akhirnya kami tiba di Hotel Harris Gubeng. Rencananya kami akan menginap di sini dua malam. Besok Zaki akan ke Gresik untuk urusan kerjaan dan belum tahu juga apakah kerjaan besok bisa beres atau kami memperpanjang waktu singgah kami di Surabaya.

Kenapa pilih Harris, dengan budget di bawah 1 juta, hotel ini menurut saya paling tidak , (sejauh ini) belum pernah mengecewakan. Sudah pernah di beberapa kota seperti Bali dan Malang, selalu berkesan. Makanya saya agak maksa untuk menginap di Harris selama di Surabaya. Letak Haris di tengah kota di Jalan Gubeng. Bersebelahan dengan adiknya, yaitu Hotel Pop. Maaf yah, kali ini karena dibayarin kantor, agak mendingan dikit dong. Gak di Pop lagi. Hehehe.

Tiba di kamar hotel yang untungnya pemandangannya tidak lagi menyeramkan, kami sebenarnya antara lapar dan tidak lapar. Mau cari kulineran di Surabaya, Zaki sudah malas keluar. Mau gojek, takut ribet. Akhirnya kami pilih pesan di hotel atas rekomendasi petugas hotel, kami pilih nasi goreng kampung komplit.

Berhubung tidak terlalu lapar dan katanya komplit dengan sate ayamnya, kami pesan satu porsi untuk dimakan berdua. Biar romantis gitu. Eh padahal mah ngirit. Hehehe. Mahal bok. Kurang lebih 15 menit nasi goreng datang. “Eh kok katanya pedas, ini mah gak pedas ah.” kata Zaki. “Iyah, ini mah standar,” balas saya yang memang selera pedasnya jauh di bawah Zaki. Loh ini kan Surabaya yang terkenal apa-apa pedas. Kok malah gak pedas ya. Ya sudah, meski demikian piring nasi goreng tersebut langsung bersih tak ada sisa. Kami lafaaarrr ternyata yah.

Keesokan paginya, sebelum Zaki berangkat ke Gresik menempatkan diri sarapan. Ini bagian yang paling dinanti kalau menginap di Harris. Sarapannya buanyak macamnya. Puas. Meski demikian, pagi itu saya gak banyak makan. Udah kenyang saja. Efek membiasakan makan sesuai kebutuhan kali ya. Kalau Zaki, eits jangan ditanya. Pagi itu bubur ayam, mie ayam, lontong sayur. Hahahahaha. Katanya capek nyetir kemarin. Bisaaaaa… ajahhhh…

Sarapan di Harris Gubeng
Selpih ketika Sarapan

Zaki berangkat ke Gresik nyewa mobil rental Blue Bird yang memang ada di hotel. Katanya lagi dia capek. “Kalau disetirin kan bisa tidur, enak. Kayak kamu.” begitu katanya.

Zaki berangkat, saya buka laptop dan berencana mau nge-blog gitu. Kan enak kamar hotelnya. Alih-alih nge-blog, pagi hingga siang saya malah sibuk memindahkan foto-foto dari hp ke external HD. Kalau bosan ya sesekali saya membaca novel Crazy Rich Asians yang sedang saya baca.

Menjelang tengah hari, usai Zuhur saya berencana keluar hotel untuk mencari makan siang sekalian mencari buah tangan untuk berkunjung ke sepupunya Zaki yang tinggal di Surabaya nanti malam. sekalian silaturahmi kan yah.

Berhubung ini hotel di tengah kota, saya putuskan untuk ke mall saja. Padahal yah, hotel menyediakan shuttle bus untuk menuju mall tersebut, dasarnya saya gak disiplin ya telat aja dong. Ya udah saya memilih jalan kaki saja.

Tauk gak apa yang pikirkan ketika saya memilih jalan kaki siang itu. Loh kalau lagi di Singapura atau Bangkok saja kok saya bisa jalan berkilo-kilo meter, kenapa ini di Surabaya yang kotanya gak kalah bagus kok saya malas. Meski ditawari taksi, sama petugas hotel, saya kekeuh mau jalan. Buka google maps dan jalan kaki. Alhamdulillah meski awalnya sulit menggunakan google maps ya tapi lumayanlah lama-lama saya terbiasa juga. Kalau bingung kan nanya bisa. Toh bahasa yang digunakan masih sama. Bahasa Indonesia. Ye kannn…

Menenangkan berjalan kaki di Surabaya. Tamannya bagus, sangat terawat. Tanaman tumbuh subur, dengan bunga-bunga. Meski Surabaya agak panas, berada di dekat taman udara siang itu sedikit sejuk karena tiupan angin dan mata jadi hijau banget.

Air Mancur
Air Mancur di salah satu taman di Surabaya
Sungai di Surabaya
Bersihnya ini sungai di Surabaya

Entah karena saya yang dudul atau gimana, akhirnya saya tiba di mall yang bukan tujuan saya. Iyah, awalnya tuh saya mau ke Surabaya City Walk, eh malah belok ke Surabaya Plaza. Gara-gara mungkin saya salah baca maps. Sudah gak papah, kan sama-sama mall. Menghibur diri dan berusaha menerima kebodohan.

Gerai makanan di mall ya tentu saja sama persis dengan yang ada di Jakarta. Makanya saya memilih mencari foodcourt biar agak beda. Pilihan jatuh kepada nasi goreng Jancuk, yang katanya fenominil. Meski begitu saya pilih yang gak pedes. Nasinya banyak banget dan rasanya gak sefoneminil itu ternyata. Biasa ajah, ada potongan ikan asin kecil-kecil yang asinnya mantab. Harganya cukup mahal buat ukuran nasi goreng menurut saya. Entah kenapa saya selalu membandingkan setiap nasi goreng yang saya makan, dengan nasi goreng warung tenda dekat rumah. Sudah langganan, karena rasanya enak, dan murah. Enak versi saya, bumbu terasa, manis kecapnya cukup, nasi tidak terlalu ambyar dan sayurnya banyak. Sebenernya saya gak habis, tapi sayang. Pelan-pelan saya makan sambil membawa novel saya. Akhirnya sisa dikit. Yah maaf ya.

Nasi Goreng Jancoe di Plaza Surabaya
Nasi Goreng Jancoek di Plaza Surabaya

Selesai makan, saya putar-putar ke pusat perbelanjaan di situ. Dapat jaket lucu dan cardigan untuk dua orang keponakan. Dari situ ternyata Zaki menelepon dan bilang sudah di hotel. “Buruan pulang!” seperti biasa gaya otoriternya sebagai suami datang. Saya kembali ke hotel dengan ojek online dan hanya 5000 pemirsa. Ya ampun padahal lumayan lo muternya.

Malamnya kami berkunjung ke rumah sepupu Zaki yang di Surabaya. Dari situ kami meutuskan makan malam. Saran dari sepupu Zaki, namanya Dek Beni enaknya makan sambal belut. Kami meluncur ke sana. Eh belom rezeki, warung belut tutup. Kami menuju tujuan berikutnya, Bebek Kayu Tangan.

Rumah Makan Bebek Kayu Tangan sederhana. Bangunan lama tidak ada polesan kekinian sama sekali. Sangat otentik khas Surabaya. Buat yang gak suka bebek, ada juga ayam kampung. Saya pesan ayam kampung bakar bumbu rujak dan Zaki, bebek bakar bumbu rujak. Katanya itu yang khas.

Perlu diingatkan, kalau lagi lapar berat, pikir-pikir makan di sini. Agak lama gitu soalnya. Meski saat itu sedang tidak terlalu ramai pengunjung. Ketika hidangan tersaji langsung saja kami serbu. Kesetiaan kami menunggu berbuah. Ya ampun itu enak banget. Bumbu rujaknya manis, pedas, asam, bercampur jadi satu. Bubunya meresap hingga ke dagingnya. Meski untuk saya pedas, tapi itu enak sekali. Semuanya pas. Pedas manis dan asam, selera saya banget.

Di belakang meja kasir duduk seorang nenek yang usianya mungkin sudah 70 tahun. Selesai membayar makanan yang kami makan, saya sedikit mengobrol dengan beliau dan asistennya. Bukannya apa, sang asisten kadang memebri kode ke saya kalau si nenek sudah agak kurang pendengaran. Pantas kadang saya tanya apa, beliau jawab apa. Ya maklum lah ya.

Jadi hasil pembicaraan saya dengan mereka ketika saya usul agar membuka cabang di Jakarta, sebenarnya sudah pernah mereka coba. Di daerah Matraman. Respon pelanggan cukup bagus, namun entah kenapa harga sewa makin mencekik. Mereka tidak sanggup lagi dan akhirnya sekarang hanya menjalankan satu saja di Surabaya. Sudah berjualan sejak tahun 1970-an sejak anak-anak si nenek masih kecil. Alhamdulillah masih laris sampai sekarang.

Bebek Kayu Tangan
Ini Ayam Bakar Bumbu Rujak dengan Irisan Mangga Muda biar kayak rujak

Malam itu hari saya di Surabaya ditutup dengan kenangan pedas, asam, dan manis tentang sebuah rasa. Ya rasa, bumbu rujak yang bikin kangen. Pokoknya kalau ke Surabaya. Harus coba lagi. Begitu kata saya dalam hati, dilanjutkan dengan untung malam itu warung belut tutup. Hahahaha…

 

 

 

Jakarta-Surabaya Part 2 (Semarang-Surabaya) Nyobain Jalan Tol Baru :)

Apa Kabar Semarang? Jalan-jalan Pagi dan Mencari Sarapan

Melanjutkan kisah perjalanan kami yang akhirnya menginap di Hotel Pop belakang Lawang Sewu, alhamdulillah kami bisa tidur pulas. Mungkin karena capek yah. Iyah yang capek bukan saya sih, Zaki. Hihihihi. Saya waktunya tidur ya tidur. Misal tidur siang, atau setelah makan mengantuk.

Meski demikian, kalau lagi roadtrip begitu, sebelum tidur baiknya tanya ke rekan yang bawa mobil. “Kamu ngantuk gak?”, “Aku boleh tidur gak?”, Nah kalau dijawab gak ngantuk, lalu diizinkan tidur, baru saya tidur sih. Soalnya bukan apa-apa. Kalau mengantuk lebih baik kan kami istirahat dulu, atau kalau sedang di tol yang jalannya lurus, biasanya saya akan tahan-tahanin untuk menemani Zaki nyetir. Jalan tol yang lurus dan mulus yang memang baru kan banyak nih sekarang. Itu bikin ngantuk Pak supir kadang, jadi mau gak mau, sebagai partner yang baik, ya harus temani. Mengobrol apa kek, setel lagu lalu karaokean bareng juga asyik loh. Itu yang kami lakukan kemarin. Makanya sebelum perjalanan, siapkan lagu-lagu untuk teman di perjalanan.

Kembali melanjutkan kisah perjalanan kemarin ya. Pagi-pagi Zaki harus buka laptop, kemudian saya minta izin untuk keluar hotel. Berjanji untuk tidak jauh-jauh. Lagipula ini kali keberapa saya ke Semarang. Letak hotel di pusat kota dan di belakang Lawang Sewu, juga sepertinya saya hanya akan berkeliling Lawang Sewu saja. Di luarnya ya, karena kalau masuk, ya belum buka juga sih jam 7 pagi.

Kami yang tidak memilih sarapan di hotel, ketika keluar hotel saya langsung bertanya ke Pak Satpam yang sudah berganti. Maksudnya bukan satpam yang mengantar kami ke kamar itu loh. Beliau merekomendasikan di samping kiri hotel ada sebuah warung nasi. Warung nasi kecil dengan spanduk yang sudah lusuh bertuliskan Warung Mak’e. Meski kecil, dan tempatnya tidak menarik, tapi menu masakannya lumayan ramai (bermacam-macam) dan enak.

Benar saja, ketika saya melewati warung Mak’E, antrian pembeli cukup banyak. Mereka adalah pekerja yang mau berangkat ke kantornya. Ternyata, di depan hotel saya adalah sebuah pusat perbelanjaan.

Saya memutuskan untuk memilih berjalan-jalan dulu saja sebelum membeli sarapan. Trotoar di Semarang bagus sekali. Lebar dan nyaman untuk pejalan kaki. Pagi itu lalu-lintas belum terlalu ramai. Saya melewati Lawang Sewu, dan melihat beberapa petugas kebersihan sedang membersihkan pelatarannya.

Sepanjang trotoar tidak ada yang berjualan. Beda dengan Jakarta. Meski di jalan utama terkadang ada saja pedagang dengan motor atau sepeda yang menjajakan makanan untuk sarapan. Seperti bubur ayam, nasi uduk, roti bakar, bahkan buah segar. Akhirnya saya rindu Jakarta. Hehehehe. Tetapi itu yang membuat trotoar di Semarang bagus. Lebar, terlihat rapi dan bersih. Sangat enak bagi pejalan kaki. Meski ya trotoarnya pagi itu sepi dengan pejalan kaki.

Berbelok ke kiri untuk kembali ke hotel, saya melewati kali kecil, dan ada tempat pembuangan sampah kota. Gerobak sampah berbaris. Ada beberapa petugas kebersihan memilah sampah. Aromanya kurang enak. Saya kagum melihat mereka. Bekerja setiap hari dengan sampah. Hidup membuat mereka harus bekerja, meski saya rasa mereka tidak suka. Semoga banyak rejeki ya Ibu-ibu dan Bapak-bapak. Pahlawan keluarga.

Sebelum kembali masuk hotel, saya akhirnya membeli nasi bungkus di warung Mak’e. Seperti biasa, saya merindukan sayur mangut khas Semarang yang ternyata juga ditemukan di setiap daerah di pesisir utara Jawa ini. Dua porsi sayur bayam, sebungkus nasi dengan mangut ikan pari, kering tempe, dan sebungkus lagi dengan telor dadar untuk Zaki. Mak’e memberi bonus teh tawar hangat dan saya hanya membayar 23 ribu untuk semua makanan yang saya beli. Murah yah…

Sarapan
Sarapan Nasi Mangut Pari

Pagi itu warung Mak’e masih saja ramai oleh pembeli. Mereka yang ingin mengisi tenaga sebelum bekerja. Padahal saya mau ngobrol banyak sama Mak’e wanita yang kira-kira berusia 50-60 tahun dibantu seorang gadis muda yang menghidangkan minum bagi pembelinya.

Ah nanti saya mengganggu, jam ini jam sibuk di warung Mak’e. Mak’e bahkan sempat bertanya ke saya, “Sampeyan, kerja di hotel ini tho?” tanyanya. “Oh, nggak Bu, saya dari Jakarta. Cuma menginap saja kok, mau ke Surabaya. Makasih ya Bu.” Saya pamit dan harus segera kembali ke hotel. Zaki pasti sudah menunggu. Kami harus segera melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Jika lancar, kami akan tiba sore hari saat matahari terbenam.

Menikmati Kerennya Jalan Tol Bawen-Salatiga

Jam 09:00 pagi kami Chek-out dari Hotel Pop menuju Surabaya. Rute yang dipilih kali ini kami memilih melewati jalan tol terindah di pulau Jawa atau di Indonesia, saya gak tauk juga sih. Iyah, jalan tol Bawen-Salatiga. Yeayyy…

Lagi-lagi kami perlu ke toilet dan berhenti di rest area tol tersebut yang masih di masuk wilayah Kabupaten Semarang. Masih pagi, masih sepi pengunjung. Toiletnya bersih sekali. Gratis lagi. Berjalan ke bagian belakang toilet, kami disuguhi pemandangan alam nan ciamik. Subhanallah keren banget. Pemandangan pegunungan khas pedesaan kami nikmati. Tak kalah menarik juga mesjid di rest area tersebut. Masjidnya bagus, megah, dan besar. Sayangnya kami gak masuk. Kami memilih berfoto saja, dan kembali melanjutkan perjalanan.

Bergaya di rest area Tol Bawen-Salatigasekali-kali selfieee….

Jalan Tol Bawen-Salatiga
Jalan tol Bawen-Salatiga

Keluar tol Salatiga, kami memasuki jalan biasa, yaitu jalan antar provinsi. Kadang melewati hutan jati, atau ketika kami melewati daerah Sangiran ada museum fosil purbakala. Sayangnya Zaki gak mau mampir. Hiks. Ya gimana ini kan kerja ya, bukan jalan-jalan, jadi harus sampai di Surabaya segera. Zaki janji, setelah pekerjaan beres, nanti kita baru menikmati perjalanan dengan mampir-mampir. Baiklah, seertinya saya harus mengerti. Hihihihi.

Meski agak bete karena gak bisa mampir ke objek wisata yang kami lewati, saya cukup menikmati perjalanan kali ini. Kami melewati Pondok Modern Gontor yang cukup megah di daerah Ponorogo. Saya hanya mendengar saja tentang Pondok Pesantren Modern Gontor ini, kali ini saya melewatinya. Pondok tersebut terdapat di beberapa tempat, ada khusus laki-laki dan wanita yang terpisah.

Makan Siang di Madiun

Hari beranjak siang. Saya akui, jalan provinsi di Jawa Timur lebih bagus dan lebih besar dibandingkan Jawa Tengah. Perut mulai teriak minta diisi. Kami mau mencicipi pecel madiun ketika memasuki daerah Madiun, tetapi kok warung makan di daerah itu banyak yang tutup. Apa mungkin mereka hanya buka di akhir pekan? Saya tidak tahu. Akhirnya karena perut sudah lapar, kami berhenti di sebuah warung makan di daerah perbatasan Madiun dan Ngawi yaitu Caruban. Tepatnya di depan Kantor Kepala Desa Purworejo. Nah kan sama nama daerahnya seperti sebuah daerah di Jawa Tengah.

Kantor Kepala Desa Purworejo-Caruban
Kantor Kepala Desa yang sudah sepi

Siang itu sekitar jam 14:30 kantor kepala desa sudah sepi. Begitu pula dengan sekolah dasar di dekatnya. Siang itu hanya ada anak-anak sedang bermain sepeda. Mungkin mereka sudah pulang sekolah. Ketika saya tanyakan ke Ibu warung, kenapa kantor kepala desa sudah sepi? “Memang sudah bubaran mbak jam segini.” jawab si Ibu. “Wah senangnya… ” spontan saya berkata demikian.

Bandingkan dengan mereka yang bekerja di kota besar seperti saya. Jam segitu, mungkin baru memulai kerja dengan disposisi dari Bu Bos hasil rapat, yang kemudian harus diselesaikan hari itu juga. Tak jarang harus pulang jauh melewati jam kerja seharusnya. Jam 21:00 bahkan lebih. “Ya itulah bekerja di desa. Santai, gak ngoyo kayak orang kota.” tiba-tiba Zaki mengeluarkan celetukan. Iyayah, apa sebenarnya yang dicari dari pulang malam dari kantor? Apa yang di dapat? Oke, kapan-kapan kita bahas di lain waktu.

Makanan sudah tersaji di meja, dan kali ini saya lapar berat. Apa daya pecel Madiun tidak ada, adanya pecel lele. Berhubung lapar, sikattt… Hehehe.

makan siang pecel lele dan rawon

Nyobain Jalan Tol Baru Mojokerto-Surabaya

Oh iya, kemudian kami masuk tol lagi di Mojokerto yang belum lama diresmikan kemarin. Ya ampun, itu jalan tol mulus banget, bagus pula.

Sebenarnya sih, kenapa Zaki mau roadtrip sampai ke Surabaya pun ya karena sudah ada jalan tol yang menyambungkan Jakarta-Surabaya. Iyah belum jadi semua kok. Tapi ini membantu banget. Merasakan betapa pembangunan terjadi di negara ini. Setahu saya pembangunan waktu itu adanya di era Pak Harto dan kemudian entah kenapa semua orang atau petinggi negeri ini terlalu disibukkan dengan urusan politik yang gak jelas buat saya. Ya mungkin demikian prosesnya. Pokoknya saya happy banget lihat pembangunan yang benar-benar nyata adanya.

Ini Tol Mojokerto
Jalan Tol Mojokerto yang baru diresmikan September 2017 kemarin

Tiba-tiba kami memasuki sebuah keriuhan jalan. Kemacetan lalu-lintas. Oh ternyata lampu merah. Motor saling berdesak-desakan maju ke depan, hingga mobil kami yang mau belok ke kiri sulit sekali belok. Untungnya ada Bapak yang baik hati memberi aba-aba, sehingga kami bisa belok dengan mulus, meski di celah yang sempit. Ya, akhirnya kami tiba di Surabaya, tepat ketika orang-orang pulang bekerja. Kembali ingatan kami ke Jakarta. “Gokil, Surabaya persis banget Jakarta pas jam pulang kantor gini.” sumpah serapah mulai keluar dari mulut Zaki. Hahahaha. Welcome to Surabaya. 🙂 But Surabaya is more beautiful than Jakarta because of the park i think. Yess. Bersambung ke next post yah cerita di Surabaya dan perjalanan kembali ke Jakarta yang pastinya  lebih seru.

Road Trip Jakarta-Surabaya 1 (Jakarta-Semarang)

Memasuki minggu-minggu terakhir libur kuliah akan segera usai. Nah sebelum waktu berlalu begitu saja, mari kita stock tulisan banyak-banyak. Mengingat semester ini sepertinya akan sangat menggila. Hahahahaha.

Sebenarnya ini adalah perjalanan dinas suami yang tertunda, tapi alhamdulillah saya masih libur jadi masih bisa ikutan. Berhubung waktu yang luang, kami memutuskan untuk mencoba membawa kendaraan sendiri. Waktu itu pernah juga sih, kami bawa mobil sampai Yogyakarta yang kemudian ada trip Semarang dan Cirebon. Udah ditulis di sini belum yah ?

Eh udah nih ternyata :

Menjelajah Wisata di Semarang dan Sekitarnya

Hahaha yang Cirebon malah belum. Nantilah ya, kalau mood. Hehehe.

Jadi kami berangkat Senin 15 Januari 2017 jam 11:00 dari Bekasi. Kemudian transit di KM 39 untuk sholat Zuhur. Perjalanan kami banyak sekali transitnya sih, maklum faktor usia, jadi sebentar-sebentar mau ke toilet. Keberuntungan menghinggapi ketika kami bermaksud untuk ke toilet di daerah Tegal. Saya yang lupa belum menjamak sholat merasa senang bisa mampir di SPBU Muri Tegal atau SPBU Muri Shinta Irawaty.

Salah Satu Lorong di Toilet SPBU Muri Tegal
Barisan pintu toilet di SPBU Muri Tegal

Mengapa dinamakana SPBU Muri? Ya karena mendapat rekor dari Museum Rekor Indonesia sebagai SPBU dengan toilet terbanyak, yaitu 67+40 toilet bersih. Beneran banyak banget, meski agak bikin gimana gitu, karena sore itu pengunjung sepi. Mungkin ramai kalau musim mudik lebaran atau liburan panjang sangat bermanfaat. Barisan pintu kamar mandi yang kosong siang itu seperti sebuah misteri buat saya yang emang orangnya rada penakut. Untung siang dan terang. Hehehehe.

Tidak hanya toilet bersih, di SPBU itu dilengkapi ruang istirahat lengkap dengan ranjang yang disewakan 40 ribu per 8 jam, fasilitas pijat, tempat makan, sampai kolam renang. Buat yang membawa anak-anak yang sudah mulai bete dalam perjalanan bisalah buat hiburan nyemplung ke kolam renang dulu.

 

 

Puas berkeliling SPBU ini, kami melanjutkan perjalanan dengan target akan bermalam di Semarang sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke Surabaya.

Kami berhenti di SPBU untuk Sholat Maghrib di daerah Kendal sebelum memasuki Semarang. Pokoknya target tidak mau terlalu malam melewati daerah Alas Roban yang sempat terkenal agak “menyeramkan” buat pengemudi yang belum terbiasa. Alhamdulillah aman-aman, meski suasana gelap ketika melewati hutan jati tersebut ditemani rintik hujan yang lumayan lebat.

Oh iyah, kok gak makan siang? Di SPBU KM 39, kami beli siomay dan saya membawa bekal nasi, lauk ayam, dan capcay sisa makan di rumah  semalam. Ketika matahari terbenam, perut mulai keroncongan, kami memutuskan makan malam di daerah Gringsing, Kendal di rumah makan Nyoto Roso. Sepanjang daerah Gringsing sepertinya terkenal dengan rumah makan yang menyajikan makanan khas berupa ayam kampung goreng.

Malam itu, kami memesan ayam kampung goreng, sayur asam bening yang beningnya seperti sayur bening. Isinya hanya labu siam, kacang panjang dan tomat, bening. Sekali lagi bening pemirsa. Saya agak shock lihat sayur asem seperti sayur bening soalnya. Hahaha. Zaki seperti membutuhkan tenaga tambahan, juga memesan sop ceker ayam kampung.

 

Selesai makan dan melihat-lihat ternyata rumah makan ini sudah cukup lama. Untuk meyakinkan pelanggan ada sertifikat halal dari pihak yang berwenang yang diberikan kepada rumah makan tersebut.

Di dinding juga terdapat foto saat rumah makan tersebut baru dirintis sekitaa dua puluh lima tahun yang lalu. Berawal dari sebuah rumah kecil, hingga menjadi rumah makan yang besar dengan area meja kursi dan lesehan yang bisa menampung seratus pengunjung.

Bagaimana rasanya? Enak. Sambal terasinya juara. Pedas dan khas terasi. Ayam gorengnya pun lezat. Meskipun ukurannya mini seperti ayam kampung pada umumnya, tapi bumbunya pas asinnya. Kesegaran sayur asem bening pun begitu menyegarkan hangat dan segar di tengorokkan, menghangatkan suasana dingin malam itu. Sop cekernya pun enak, gurih dan pas rasanya.

Sebagian menu di RM Nyoto Roso

Menu yang kami pesan di RM Nyoto Roso

Kami kemudian booking hotel di Semarang, dan memutuskan untuk menginap di Hotel Pop Semarang. Kira-kira jam 20:30 Zaki membangunkan saya yang pulas tertidur setelah kekenyangan. “Bangun, bangun, sampai di hotel nih.” Dengan setengah sadar, saya membuka mata dan mengumpulkan nyawa. Berpikir, apa saja yang akan kami bawa ke dalam, mengingat bawaan kami yang banyak. Iyah, saya bawa buah-buahan sisa di kulkas, sampai blender buat nge-jus. Kami memutuskan pesan hotel dengan harga tanpa sarapan. Hehehehe. Kenapa? Karena kami sudah pernah mencoba sarapan di hotel Pop Yogya dan yakin, sarapan di warung makan pinggir jalan sekalipun di Semarang jauh lebih enak.

Memasuki lobi hotel, saya cukup senang dengan design interior loby hotel tersebut. Anak muda sekali, kekinian sekali, instagenic sekali, pokoknya baguslah. Agak mengejutkan lagi, ternyata hotel tersebut baru dibuka tiga hari yang lalu sebelum kami menginap. Wow, seru nih. Hotel baru, asyik, pasti semuanya bagus. Gumam saya dalam hati.

 

Kami di antar ke kamar dibantu Pak Satpam. Kok Pak Satpam? Iya, mungkin karena hotel baru yah, bell boy-nya belum ada. Jadilah Pak Satpam yang baik hati mengantar kami hingga ke kamar. Sambil membantu mebuka pintu kamar, Pak Satpam berucap, “Selamat istirahat Bapak dan Ibu, silahkan, pemandangan hotel langsung menghadap ke Lawang Sewu?” sambil tersenyum. Kemudian saya, “What??? Syerem dong.” Langsung bergegas ke jendela dan membuka tirai, “Ohmoooo…” saya dan Zaki sontak tertawa terbahak-bahak.

Pemandangan dari Kamar Hotel
Pemandangan dari Kamar Hotel, Bangunan Lantai 2 Lawang Sewu dan Bangunan Sebelah Hotel yang Kosong Sisa Kebakaran

Untuk hotelnya sendiri bagus kok, so jangan khawatir. Pagi-pagi pemandangannya bagus dan pelayanannya memuaskan.

 

Baiklah sampai di sini cerita perjalanan kami, besok kami akan lanjut ke Surabaya dan akan saya ceritakan di post berikutnya.

Senyumin Aja, Meski Ku Suka Manyun Juga :)

Tulisan ini saya tulis, ketika ada sebuah kompetisi apalah waktu itu dan lumayan masuk 10 tulisan terbaik. Meski katanya mau dibukukan, tapi sampai sekarang belum juga tuh. Hehehe. Ya sudahlah biar saja, yang penting saya jadi produktif menulis lagi.

Ini sebuah cerita salah satu perjalanan hidup saya yang lumayan seru. Berawal dari seorang teman yang curhat waktu nilainya kurang bagus saat kuliah S2 ini, dan mengeluhkan keadaannya yang harus sekolah sambil bekerja. Meski katanya sekolah dibiayai orang tua, tapi gak enak kalau resign. Kalau teman-teman cerita begitu, saya jadi ingat kalau saya pernah di kondisi seperti mereka. Kuliah sambil bekerja. Kenapa? Ya harus, kalau gak kerja, dari mana saya bayar kuliah? 🙂

Kalau mengingat kondisi waktu itu, rasanya sulit sekali saya membayangkan saya bisa sampai di titik hidup saya sekarang (belom apa-apa juga sih) tapi saya bersyukur banget banget, kalau melihat perjuangan saya yang bahkan menyelesaikan S1 ajah kok harus huuuuu haaaahhhh sekali. Cuma satu ajah sih, yakin keadaan bisa berubah hanya saya dengan sekolah. Demi keluarga, dan orang tua. Itu tiga cuyyyy… Hihihi… plis jangan ketawa bacanya.

Mau Kuliah Lagi Setelah Selesai D3

“Pak, aku maunya sih, sekolah lagi. Lanjutin S1, seperti teman-temanku si Rahma, Rifqy, dan Santi.” Curhatku ke Bapak siang itu, ketika sudah hampir dipastikan saya akan segera menamatkan kuliah saya di Politeknik Kesehatan Jakarta II Jurusan Farmasi.

Tiga tahun sudah akhirnya saya berhail menamatkan pendidikan di sana. Buat saya itu tidak mudah. Bukannya tidak suka, tetapi sepertinya kemampuan otak kiri saya semakin berkurang seiring dengan usia. Agak terengah-engah buat saya untuk bisa lulus mata kuliah ilmu pasti seperti Matematika, Fisika, ataupun Kimia. Tetapi, kalau sudah masuk mata kuliah berkenaan dengan obat dan fungsi saya bisa lebih mudah menerimanya dengan menggunakan logika berpikir. Menurut saya lebih mudah dibayangkan.

Waktu itu Bapak hanya menjawab, “Memangnya biaya untuk kuliah berapa? Tahun ini Bapak sudah pensiun lo.”  Sambil matanya menatap keluar jendela di ruang tamu.

“Ya sudah Pak, saya mau coba kerja saja. Nanti nabung sendiri buat lanjut S1.” Saya menutup pembicaraan dengan mencari jalan terbaik yang saya bisa. Padahal dalam hati saya sangat iri dengan teman-teman yang bisa melanjutkan kuliah. Mereka mendaftar di sebuah perguruan tinggi negeri program ekstensi di bilangan Depok, Jawa Barat. Tetapi saya buru-buru membuang jauh rasa iri itu. Ini mungkin jalan saya. Ingat, saya waktu itu memutuskan memilih program D3 Farmasi agar bisa selesai tepat waktu saat Bapak pensiun. Selain itu, agar cepat dalam mendapat pekerjaan. Jadi ya terima saja, toh waktu itu cita-cita saya, sesederhana itu. Ingin membantu ekonomi keluarga.

Bertepatan dengan saya menamatkan sarjana muda saya, bapak pensiun. Bersamaan pula dengan adik saya lulus SMU. Saya tidak boleh egois. Adik saya harus kuliah juga. Meski Ibu bekerja, pendapatan Ibu tidak seberapa untuk membiayai kuliah adik saya.  Uang pensiun Bapak tentu tidak cukup untuk membiayai saya melanjutkan sekolah ke jenjang strata satu yang tidak murah.

Tabungan? Jangan ditanya. Kami bukan keluarga berlebih yang mempunyai tabungan pendidikan, dana cadangan atau apalah seperti istilah perencana keuangan yang sedang ngetren saat ini. Bapak seorang Pegawai Negeri Sipil yang hanya tamatan SMU, belum ada yang namanya tunjangan kinerja, di tempat Bapak juga tidak ada dinas keluar kota. Ibu bekerja di Balai Kesehatan Masyarakat sebagai pegawai administrasi yang gajinya dicukup-cukupkan untuk biaya hidup kami, terutama sekolah.

Kami bisa sekolah melanjutkan kuliah, mungkin dengan pinjaman dari koperasi tempat Ibu bekerja. Kami makan seadanya dan hampir tidak pernah jajan makan di luar. Meski Ibu bekerja dan harus berangkat jam 05:30 setiap hari Senin-Sabtu, Ibu selalu menyiapkan sarapan pagi dan bekal kami untuk makan siang. Sepulang kerja jam tiga sore, Ibu langsung memasak, kadang juga menyetrika pakaian. Waktu itu kami sudah bisa membantu membersihkan rumah dan mencuci pakaian.

Diterima Kerja Pertama, Senangnya

Alhamdulillah adik saya diterima di Universitas Negeri Jakarta. Doa Ibu dan Bapak juga membuat saya bisa dengan mudah diterima disebuah industri farmasi di daerah Cikarang, Jawa Barat. Buat kami yang hanya lulusan D3, diterima bekerja di industri farmasi, merupakan suatu kebanggan tersendiri. Apalagi waktu itu saya belum resmi di wisuda. Teman-teman saya masih berjibaku mengirimkan surat lamaran kesana kemari, alhamdulillah saya sudah dapat pekerjaan.

Pendidikan saya yang hanya D3, tidak bisa membuat saya langsung bekerja sebagai karyawan tetap. Saya terikat kontrak dengan status “KKWT” alias “Karyawan Kontrak dengan Kesepakatan Waktu Tertentu. Untuk percobaan, saya dikontrak selama satu tahun. Kelanjutannya akan dinilai oleh atasan langsung. Apakah saya akan diangkat menjadi karyawan tetap ataukah saya diputus kontrak, yang berarti saya akan jadi pengangguran.

Semangat fresh graduate yang ingin membuktikan kemampuan, saya bekerja dengan giat. Lokasi kantor yang di luar kota, membuat saya harus datang pagi-pagi buta dan pulang saat matahari tenggelam. Belum lagi adanya shift yang mengharuskan saya pulang jam dua dini hari jika saya mendapatkan shift kedua. Satu lagi, jika produksi sedang tinggi, kadang kami juga melakukan long shift. Jam 7 pagi sampai jam 7 malam atau dibalik, jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Seperti zombie rasanya waktu itu. Pagi hari tidur, malam hari harus bekerja. Belum lagi tuntutan dari atasan saya yang lumayan tinggi buat pemula seperti saya. Menurut beliau, di sini kami harus bekerja, bukan belajar, karena di sini kantor bukan universitas. Aduh, kalau ingat itu kadang suka senyum-senyum saja sih.

Meski terasa berat, saya tetap menjalani pengalaman kerja pertama saya dengan fun. Pertama, saya senang sekali, bekerja di industri farmasi, karena ilmu yang saya pelajari bisa benar-benar diaplikasikan. Bahkan ilmu saya tambah banyak. Belajar dari para senior dan apoteker-apoteker yang menurut saya mereka semua jenius sangat cinta pada dunia farmasi. Teman-teman di kantor juga hampir seusia. Beberapa kali kami mengadakan jalan-jalan bareng seperti ke Bandung dan Anyer. Pokoknya bahagia deh.

Hingga pada suatu hari, kontrak saya akhirnya diselesaikan, karena atasan langsung saya sepertinya kurang puas dengan kinerja saya. Entahlah mungkin ini saya yang salah. Saya tidak cepat beradptasi. Tapi akhirnya saya terima saja. Berat sekali hidup saya waktu itu. Setahun sudah bekerja lalu menjadi pengangguran lagi dan serasa kembali ke titik nol.

Sepertinya Sudah Lelah 

Mulailah saya mencari-cari pekerjaan lagi seperti baru lulus kuliah. Setiap minggu mengirimkan paling tidak sepuluh amplop melalui PT. Pos, pergi ke warnet mengecek situs pencarian kerja, dan berlangganan koran setiap akhir pekan.

Satu bulan menganggur, akhirnya saya diterima bekerja di sebuah Apotek di bilangan Pondok Gede. Gajinya tentu saja sedikit lebih rendah. Tetapi cukup besar untuk kelas Apotek waktu itu. Pengalaman saya bekerja di Apotek pertama kali, dinodai dengan paraktik kecurangan Apotek tersebut. Hati nurani saya berontak. Bagaimana tidak, saya harus mengganti obat pasien dengan generik, tetapi memberi harga dengan harga obat bermerek. Itukan sama saja dengan menipu. Sudah mereka sakit, membeli obat dengan harga yang tidak murah, eh kok saya malah mencurangi. Hanya satu bulan, saya pun mengundurkan diri, dan diterima bekerja di sebuah Apotek jaringan di Menteng Jakarta Pusat.

Saat bekerja di Apotek jaringan ini, saya bekerja dua shift. Shift pagi jam 08:00 hingga15:00 dan shift siang jam 14:00 hingga jam 21:00. Waktu yang fleksibel, terlintas di pikiran saya untuk kembali ke bangku kuliah. Setelah meminta izin teman-teman dalam pengaturan shift.

Akhirnya Kuliah Lagi, S1

Saya sadar, hanya pendidikan yang bisa mengubah nasib saya. Kalau pendidikan saya hanya D3, akan selamnya saya menjadi bawahan. Akan selamanya saya tidak mempunyai jenjang karir jika bekerja di bidang farmasi.

Berbekal tabungan saya yang pas-pasan, saya nekat mendaftar kuliah. Tabungan saya cukup membiayai kuliah saya selama 2 semester. Saya mengambil kuliah di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jurusan Farmasi. Alasan saya memilih kuliah disitu yang pertama karena lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Kedua, waktunya bisa fleksibel, bisa pagi dan sore hari. Dengan begitu tidak mengganggu jam kerja saya.

Jika saya bekerja masuk pagi, sore hari saya langsung ke kampus. Kuliah hingga jam delapan malam. Sebaliknya jika saya kerja siang, maka jam tujuh pagi saya sudah di kampus. Belum lagi tugas, kuis, dan ujian yang tidak ada toleransi meski bekerja. Sering saya mencuri-curi waktu di Apotek jika sepi pengunjung untuk belajar atau mengerjakan tugas. Kuliah farmasi juga disibukkan dengan praktikum. Mengerjakan jurnal sebelum praktikum dan membuat laporan sesudahnya. Buat saya itu luar biasa. Sepertinya otak saya diminta tidak berhenti selama empat belas jam.

Perjuangan akan lebih berat jika ujian tiba. Pernah saya terlambat datang ujian karena kereta atau pun lalu lintas macet. Jarak apotek dan kampus lumayan jauh. Di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Pernah saya menangis, ketika paginya saya kuliah, lalu siang bekerja. Pulang malam, naik kendaraan umum lalu turun hujan dan badan basah kuyup. Waktu itu saya merasa Tuhan tidak adil. Kenapa harus saya, teman-teman saya tidak susah-susah amat seperti saya untuk bisa menyelesaikan S1. Waktu itu yang membuat saya tambah sedih, ketika Ibu ikutan menangis. Ibu selalu sabar menunggu saya di rumah. Hanya bisa menghibur saya dengan kata-katanya. “Kamu harus kuat Rin, inikan maunya kamu. Kuliah sambil bekerja.” Biasanya Ibu bilang begitu, saya makin kencang menangis dan langsung ambil air wudhu buat sholat dan mengadu ke Tuhan.

Saya harus kuat, perjuangan ini belum selesai. Sering saya berpikir untuk tidak bekerja saja dan fokus di kuliah. Tetapi dari mana nanti saya bayar kuliah, darimana untuk membeli pulsa. Jauh-jauh dari mall deh. Beli buku pun hanya sebatas buku kuliah. Tidak ada pos untuk membeli novel yang menjadi bacaan favorit.

Meski saya bekerja, saya tetap mengusahakan agar Indek Prestasi Kumulatif saya lebih dari tiga. Berbagai jalan saya lalui. Berusaha bergaul dengan teman-teman yang hanya fokus kuliah untuk mencari informasi bahan kuliah ataupun kumpulan-kumpulan soal menjelang ujian. Pokoknya meski sibuk kuliah tidak boleh asal-asalan. Bagaimana bisa untuk modal melamar kerja jika nilai IPK saya jelek.

Tidak selesai di urusan kuliah dan bekerja, ternyata ada lagi ujian di hidup saya. Apotek jaringan tempat saya bekerja dinyatakan bangkrut. Menurut saya sih karena salahnya manajemen. Tetapi entahlah saya tidak tahu menahu urusan itu. Saya kemudian pindah bekerja di Apotek di Kali Malang. Lucunya pembayaran gaji di sini dicicil  Tidak sampai satu bulan saya mengundurkan diri dan pindah ke sebuah rumah sakit di Bekasi.

Alhamdulillah diterima CPNS

Diantara carut-marut pekerjaan dan kesibukan kuliah, saya iseng-iseng menguji nasib untuk ikut tes CPNS di sebuah Kementerian. Mungkin waktu itu Tuhan sudah lelah mendengar tangisan dan keluhan saya, dan setelah melalui tes di Stadion Utama Senayan, saya dinyatakan lulus. Alhamdulillah, waktu itu tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya Ibu saya. Mungkin ini semua atas doa beliau.

Saya akhirnya bekerja di  Kementerian sambil menjalani  kuliah saya yang  tinggal dua mata kuliah dan tugas akhir alias skripsi. Meski pekerjaan saya cukup membuat saya nyaman, ternyata justru disinilah saya mengalami kesulitan mengatur waktu. Pekerjaan saya mengharuskan saya sesekali bertugas ke luar kota. Kalau sudah begitu, berat sekali untuk harus izin kuliah. Di lain sisi, di kantor saya masih anak baru yang belum punya hak suara, apalagi menolak perintah.

Di saat semangat kuliah yang menurun padahal tinggal selangkah lagi, tidak lelah Ibu memberi dukungan agar semua perjuangan saya kemarin tidak sia-sia. Terhitung satu tahun lamanya saya mengerjakan tugas akhir alias skripsi. Untuk menyelesaikan skripsi, saya mempunyai rekan yang tidak kalah sibuknya dengan saya. Positifnya kami bergantian memberikan motivasi. Pokoknya harus selesai. Ini tinggal sedikit lagi. Kalau melihat semua yang sudah kami lakukan dalam kuliah dan bekerja, sangat tidak rela jika kuliah ini tidak selesai.

Waktu itu, alhamdulillah saya juga punya kesibukkan baru, yaitu menyiapkan pernikahan. Calon suami yang sekarang sudah menjadi suami saya, juga ikutan direpotkan. Menemani saya di laboratorium sampai malam, ataupun ikutan wira-wiri menemui dosen pembimbing. Alhamdulilah akhirnya saya sidang dan dinyatakan lulus. Waktu itu hanya bisa bilang alhamdulillah dan akhirnya selesai juga.

Setahun lulus S1, saya kembali melanjutkan pendidikan profesi Apoteker di perguruan tinggi yang sama. Seperti dejavu, aktivitas pagi hari bekerja, sorenya kuliah hingga malam berulang. Kali ini ditambah mengurusi rumah tangga.

Pendidikan profesi tidak hanya belajar di bangku kuliah tetapi ada Praktik Kerja Profesi (PKP) di Rumah Sakit, Apotek, dan Instansi. Ketika PKP di Rumah Sakit selama 10 hari dan Apotek 1 bulan, hampir setiap hari saya harus naik taksi atau ojek dari kantor agar tidak terlambat.

Tidak terhitung biaya,waktu, dan tenaga yang dikorbankan. Apakah itu semua demi gelar? Buat saya perjuangan yang dilalui tidak sesederhana demi sebuah gelar. Saya haus akan ilmu dan orang tua saya yang selalu mengingatkan, kalau mereka tidak pernah bisa memberi apa-apa selain membekali saya ilmu. Iyah, sekolah. Ibu dan Bapak akan melakukan apa saja agar saya dan adik bisa terus sekolah.

Pendidikan D3 saya membuat saya terpacu untuk melanjutkan ke S1 dan ketika sudah selesai S1, alhamdulillah Pak Bos di kantor mendukung untuk saya nyambi kuliah  program profesi Apoteker. Alhamdulillah selesai dengan nilai yang lebih memuaskan dibanding S1 🙂

Lima tahun setelah Apoteker, alhamdulillah dapat rezeki buat lanjut S2. Kali ini gratis dibiayai negara. Bersyukur sekali rasanya.

Oh iya, waktu itu, tema tulisan ini untuk lomba dengan tema perjuangan demi gelar. Kalau buat saya sekarang, apalah arti gelar yang kita miliki jika tidak diiringi dengan peningkatan akan manfaat kehadiran diri kita di dunia. Pekerjaan saya kali ini mungkin tidak begitu mengaplikasikan praktik langsung ke masyarakat, tetapi dengan ilmu yang saya miliki, saya masih bisa menjawab jika keluarga, teman, ataupun kerabat yang bertanya sedikit tentang obat.

Saya tidak pernah menyesal dengan semua yang saya lalui. Saya bersyukur bisa bekerja di industri, apotek, dan rumah sakit dengan segala suka duka ceritanya. Saya beruntung dan lebih mudah dalam menjalani kuliah profesi, karena saya sudah pernah terjun langsung. Saya beruntung dengan segala yang saya lalui, itu yang menempa saya dan membuat saya tidak cengeng. Yah sesekali cengeng boleh lah :).

Semua perjuangan tersebut semakin menguatkan saya. Saya ingat ketika dalam berdoa saya tidak minta untuk dimudahkan urusan, saya hanya minta Tuhan menguatkan saya. Menjadikan saya pribadi yang kuat dan tidak cengeng dalam menjalani semua takdirnya. Seperti salah satu ayat alquran favorit saya. “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.”

Buat teman-teman yang masih pusing dengan sekolah, skripsi atau apalah itu, yakin, semuanya akan lewat dan akan tersenyum pada waktunya.

Tersenyum di Ha Long Bay
Senyumin Ajaaa